Minggu, 13 Januari 2008

Resensi Buku KORAN TEMPO, 28 April 2002

Resensi Buku di KORAN TEMPO, 28 April 2002
Mendidik Anak Bukan dengan Metode Penjinakan
Judul buku: Pedagogi Pengharapan-Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas (Pedagogy of Hope-Reliving Pedagogy of the Oppressed)
Penulis: Paulo Freire
Penerjemah: A. Widyamartaya
Penerbit: Kanisius-Yogyakarta, 2002
Tebal: 328 halaman
Paulo Freire (1921-1997), dalam rangka memperingati 25 tahun terbitnya Pedagogy of the Oppressed, pada 1994, menerbitkan Pedagogy of Hope. Maksudnya untuk menghayati kembali Pedagogy of the Oppressed. Berbeda dengan buku pertamanya, Pedagogy of Hope berisi runutan pengalaman nyata dan hidup yang menjiwai buku pertama. Pengalaman-pengalaman mengesankan itu meliputi peristiwa-peristiwa awal yang memberi inspirasi sebelum Pedagogy of the Oppressed ditulis maupun pengalaman-pengalaman sesudah diterbitkan yang memberi daging pada buku itu. Pedagogy of the Oppressed mula-mula ditujukan buat memberdayakan kaum miskin buta huruf di Recife, kota pelabuhan di pantai Utara Brasil. Tak heran, Freire lebih populer di kalangan lembaga swadaya masyarakat ketimbang di sekolah formal. Freire lebih dikenal sebagai andragog (pendamping kaum dewasa) lewat popular education ketimbang pedagog (pendidik generasi muda). Pedagogi freirean identik dengan metode hadap masalah, bukan pendidikan konvensional gaya bank, perlawanan atas budaya bisu, menentang domestikasi (penjinakan), metode dialogal atau pengajaran non-indoktrinatif, penyadaran, dan pengharapan. Conscientizacao (konsientisasi) digunakan Freire untuk mendiskripsikan proses perkembangan individu yang berubah dari kesadaran magis dan naif menuju kesadaran kritis. Hakekat pendidikan, bagi pemikir dari Brasil dan pelopor paradigma pendidikan keadilan sosial dengan pendekatan pemberdayaan manusia itu memang penumbuhan kesadaran kritis ---bukan kesadaran magis dan kesadaran naif. Kesadaran magis tidak mampu menemukan kaitan antara kemiskinan dengan struktur sosial, ekonomi, dan budaya yang mengondisikan kaum miskin nestapa. Kesadaran ini fatalis karena menempatkan faktor di luar manusia sebagai sumber ketidakberdayaan. Kemiskinan diterima sebagai kodrat yang tidak bisa diubah. Kesadaran naif menyalahkan manusia sebagai sumber kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Berangkat dari kesadaran ini, muncul paradigma pendidikan kompetitif dengan pendekatan sumber daya manusia. Konsep link and match contoh sesat pikir pendidikan bermuara pada kesadaran ini. Kesadaran kritis melihat struktur politik, sosial, ekonomi, dan budaya sebagai akar penindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Pedagogi penyadaran Paulo Freire memfasilitasi masyarakat “buta huruf” (berkesadaran magis dan naif) agar bisa “membaca” (berkesadaran kritis) dan memahami bagaimana struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya mengorbankan dan menindas mereka. Tujuan akhir conscientizacao mengubah struktur masyarakat yang zalim menjadi adil dan lebih manusiawi. Pendidikan, menurut salah satu konsep aslinya adalah paideia (pedagogi). Artinya pembentukan generasi muda agar menjadi manusia berbudaya yang mampu mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat. Pendidikan di Indonesia, istilah budayawan Bakdi Sumanto, baru sebatas pengajaran untuk menghasilkan para siswa-siswi ingkang bagus alus, ayu merak ati, pinter etung, nulis, nggambar, kalawan maca (para siswa-siswi yang tampan, cantik, pintar berhitung, menulis, menggambar, dan membaca). Terjadi pengerdilan makna pendidikan dan pemungkretan esensi pendidikan. Pendidikan tidak mendorong peserta didik dan pendidik berkomunikasi dengan realitas sosial yang terjadi di luar sekolah---padahal, bagi Paulo Freire, pendidikan adalah dialektika peserta didik, pendidik, dan realitas sosial. Freire menekankan pentingnya pendidikan dialogal agar mendayakan dan mengayakan ketimbang pendidikan bercorak otoriter yang menjinakkan. Pendidikan punya kecenderungan mengindoktrinasi, menghegemoni, dan mendominasi karena berpendekatan top-down, sistemnya militeristik (seragam, ideologis, disiplin mayat), dan menggunakan metode anjing. Para murid agar setia dan tunduk, sebagaimana relasi tuan dan anjing, dididik dengan ganjaran sekaligus hukuman. Guru agen yang mengawasi dan merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang memupus bakat dan gairah siswa untuk mengembangkan rasa ingin tahu. Jelas ini bukan pendidikan melainkan “pembuayaan” yang memblokir manusia untuk menjadi manusia otentik. Kurikulum di jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah Indonesia mencantumkan topik-topik berbagai bidang studi secara rinci. Tugas pendidik sekedar mengangkat pokok bahasan demi pokok bahasan dan mengabarkan isi buku teks. Mutu hasil pembelajaran menjadi absurd karena yang dipakai sebagai ukuran hanyalah daya serap (kemampuan menghimpun pengetahuan) yang diungkap lewat proses evaluasi hasil belajar bersifat artifisial---ebtanas. Sistem pengajaran monologal yang menonjolkan otoritas dominan dalam konteks pedagogi Freirean jelas mentunadayakan siswa. Silang sengkarut pentunadayakan juga diakibatkan: lemahnya motivasi dan dedikasi guru untuk menjadi pendidik berjiwa otentik; semakin banyak guru yang kebetulan menjadi guru, sejak awal tidak komit menjadi guru; kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap mereka rendah sehingga kepribadian mereka memancarkan ketidaksiapan jadi pendidik. Pendidikan di Indonesia agar mengobarkan pengharapan --mengadaptasi pemikiran Francis Wahono (2002)-- pendekatannya mesti bottom-up, sistemnya petani, dan menggunakan metode ayam. Kurikulum, sebagaimana petani memperlakukan tanaman sesuai konteks alam, disampaikan hanya melalui penggarapan dan penjiwaan pendidik berdasarkan keadaan dan kebutuhan nyata peserta didik. Pendidik, setali tiga uang induk ayam mestinya tidak memaksa anak-anaknya menjadi penurut melainkan memandirikan, mendewasakan, dan melindungi mereka dari mara bahaya. Bukan membiarkan pelajar tawuran dan terjerumus narkoba.
J. Sumardianta

Tidak ada komentar: