Jumat, 17 Agustus 2012

Kolom KORAN TEMPO, Sabtu, 14 Juli 2012


Mewujudkan Spirit Corporate Mystic

Oleh: J. Sumardianta*


Suatu malam, seorang pria sepuh menggandeng istrinya, memasuki lobi hotel kelas melati, di Philadelphia, Amerika. "Semua hotel besar di kota ini telah terisi penuh. Bisakah Anda menyediakan satu kamar saja buat kami?" ujar pria itu menjeritkan harap.

"Kamar kami telah dipesan jauh hari. Ada tiga perhelatan besar digelar bersamaan di kota ini. Tapi saya tidak tega membiarkan pasangan sebaik Anda tampias kehujanan di jalanan pada dini hari. Maukah Anda berdua menginap di apartemen saya?" jawab resepsionis. Orang tua itu mengangguk.

Keesokan harinya, saat pamitan, bapak tua berterima kasih pada penolongnya. "Anda seharusnya menjadi pemimpin hotel terbaik di Amerika. Anda bekerja dengan keinginan kuat untuk mengabdi. Kelak saya mungkin bisa membangun hotel untuk Anda."

Pegawai hotel murah yang hati itu tersenyum. Melupakan kata-kata si pria tua. Dan, kembali pada rutinitas melayani para tamu lain.

Dua tahun kemudian datang sepucuk surat undangan disertai tiket terbang ke New York. Di metropolis terbesar di dunia itu, pak tua, mengajak tamunya ke sudut jalan antara Fifth Evenue Thirty-Fourth Street. Dia menunjukkan bangunan baru luar biasa megah. "Itu hotel yang saya janjikan dua tahun lalu. Mulailah Anda kelola sekarang." George Charles Bold, si karyawan hotel melati, menerima tawaran Mr William Waldorf Astor.

Kisah Tuan Astor menemukan karyawan berjiwa melayani inspirasi mencerahkan perihal corporate mystic. George Charles Bold tipikal pekerja yang bisa berdamai dengan diri sendiri (sabar, syukur, bersahaja), berdamai dengan sesama (memberi, mengasihi, memaafkan), dan berdamai dengan Tuhan (berserah).

George Charles Bold menemukan Tuhan bukan saat berdoa dan beribadah. Tuhan tidak diluhurkan dengan laku asketik keras ala para pengembara sufi melainkan di perusahaan tempatnya bekerja.

Semangat merupakan masalah paling penting di tempat kerja bukan soal strategi dan taktik. Rendahnya semangat dan produktivitas kerja itu masalah paradigma bukan masalah perilaku. Paradigma itu sebab, perilaku akibat.

Arvan Pradiansyah, dalam I Love Monday (2012), menyebutkan tiga paradigma dalam bekerja dan berbisnis. Paradigma pertama berorientasi job. Sutradaranya pimpinan atau owner. Karyawan tersiksa karena menjalankan skenario, mimpi, kemauan, dan masa depan orang lain. Motivasi penggeraknya jangka pendek: apa yang akan saya peroleh? Paradigma ini dianut sebagian besar kaum profesional maupun pekerja terampil.

Tujuan bekerja semata demi menafkahi keluarga dan bertahan hidup. Konsekuensinya orang harus bekerja keras dan mengabaikan kesehatan. Mereka membayar pendapatan yang tidak seberapa dengan pengorbanan waktu dan perasaan yang menyiksa lahir batin. Tabungan tidak pernah mencukupi. Penghasilan selalu kalah bersaing melawan beaya hidup dan inflasi.

Mereka seperti robot karena mengacu model get the job done (GJD) – sekadar menjalani rutinitas kerja monoton. Populasi kelompok GJD, berdasarkan laporan American Society for Training and Development (ASTD), sebesar 54 persen.

Di kantor, penganut GJD hanya senang pada saat gajian. Selebihnya, cenderung menghindari masalah ketimbang menyelesaikannya. Bekerja sudah tentu tidak menggembirakan. Senyum mereka saat menyambut pelanggan hanyalah senyum SOP (standard operating procedure). Cara mereka menangani keluhan pelanggan menunjukkan tidak adanya rasa tanggung jawab.

Penganut GJD berfokus pada diri sendiri. Langgam mereka pesimistic explanatory style. Sekadar meluangkan waktu bukan mencurahkan energi, perhatian, dan passion. Fisik di kantor tapi pikiran bergentayangan di mana-mana. GJD membuat perasaan pekerja tidak nyaman. Mereka terpaksa bertahan dalam pekerjaan membosankan yang merendahkan harga diri dan tidak sesuai dengan minat serta keahlian.

Sebesar 17 persen populasi GJD, menurut laporan ASTD, amat membenci pekerjaan. Mereka suka menyebarkan virus prasangka dan keresahan. Suasana kerja jadi mirip neraka. Mereka menderita karena gagal memaknai dan menemukan indahnya pekerjaan.

Paradigma kedua berorientasi pada karier. Skenario disusun para pemburu karier itu sendiri. Motivasi penggerak: bagaimana cara memperolehnya? Pekerjaan adalah sarana bertumbuh. Karier membuat orang sukses memperoleh uang, pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman. Tujuan bekerja penganut paradigma kedua ini memang kesuksesan.

Paradigma pertama dan kedua, secra keseluruhan populasinya 71 persen, tujuannya memperoleh (getting). Paradigma ketiga mencakup 29 persen populasi, fokusnya memberi (giving). Paradigma ketiga memperlakukan pekerjaan sebagai panggilan (vocation). Bekerja merupakan sarana melayani orang lain buat mencapai tingkat kemanusiaan tertinggi. Skenarionya, finding God in all things. Meluhurkan Tuhan di tempat kerja.

Paradigma ketiga disebut confirm satisfaction (CS). Mindset telah bergeser dari berfokus pada diri sendiri (bekerja demi gaji dan karier) menjadi lebih altruistik – mengabdi Tuhan dengan melayani sesama. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Pamrih mereka sedikit. Lebih banyak berkarya nyata.

Pekerjaan yang sama selalu dilakukan karyawan dengan cara berbeda. Ukuran keberhasilan bukan apa yang sudah dikerjakan melainkan apakah pelanggan sudah puas terlayani. Motivasi yang menggerakkan penganut CS: mengapa saya mesti mengerjakannya?

Manfaat terbesar yang diberikan pekerjaan adalah harga diri. Orang menjadi penting karena mementingkan orang lain. Makna pekerjaan ditemukan karena karyawan mampu melihat dengan sudut pandang orang lain. Orang yang memberi banyak melebihi yang dia terima (give more expectless). Bukan sekadar transaksional give more expect more. Mereka bukan manusia tidak tahu diri yang motivasinya giveless expect more.

Paradigma CS amat visioner. Karyawan memiliki spirit, perasaan positif, relasi bagus, dan terhubung dengan yang dikerjakan. Langgam mereka optimistic explanatory style. Badan dan pikiran menyatu di tempat kerja. Pekerjaan baru selesai ketika hasilnya sudah dinikmati pelanggan.

Semakin tinggi kesulitan yang bisa diatasi, semakin banyak keahlian yang diperoleh, semakin tinggi nilai jual, dan semakin solid identitasnya seseorang sebagai profesional. Hasilnya uang, kesuksesan, kebahagian, kepuasan batin, perasaan bermakna, kompetensi dan intelektual, jaringan relasi sekaligus.

Inilah hukum besi yang tidak bisa dihindari. Mementingkan orang lain merupakan rahasia bisnis mendasar sepanjang masa. Semua jenis pekerjaan esensinya pelayanan, substansinya pengabdian. Mereka yang mengingkari hukum alamiah itulah yang setiap hari Senin dilanda kecemasan dan depresi. Mereka sorai pada hari Jumat, menjelang libur akhir pekan. Mereka inilah yang senantiasa membuat macet jalan di daerah Puncak. Mereka, saat long weekend tiba, seperti kesetanan, lintang pukang meninggalkan Jakarta.

Kebahagiaan itu kepenuhan makna. Kesengsaraan itu krisis makna. Bahagia atau sengsara itu lebih ditentukan kemauan dan kemampuan memaknai pekerjaan. Perubahan paradigma dalam memandang pekerjaan bisa mengubah beban jadi sumber kebahagiaan.

Harus diakui, bekerja untuk melayani masih terdengar aneh bagi sebagian besar profesional. Ada yang menganggap munafik. Bahkan ada yang menuduh kamuflase supaya pekerjaan lebih kelihatan elegan.

Problem terbesar perusahaan despiritisasi kelembagaan. Bisnis pada dasarnya rawa tempat buaya besar melakukan segala penipuan dan eksploitasi demi mengenyangkan perut pemiliknya sendiri.

Spirit corporate mystic, baru bisa diwujudkan bila budaya korporasi serakah yang mendewakan keuntungan jangka pendek diubah. Kegigihan memupuk laba mesti bersinergi dengan hasrat untuk hidup bermakna. Kejayaan material diimbangi kedewasan spiritual. Dedikasi menaklukkan egoisme. Kepedulian menggantikan sikap masa bodoh.

*J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta. Penulis Simply Amazing (2009) & Editor Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (2011).

Mengapa Lelaki Harus Disunat?


Tatkala Burung Tanpa Kepala  
Oleh: J. Sumardianta*
Kisah Darman Gondo, dalang seangkatan Ki Narto Sabdo almarhum, sewaktu disunat sangat menggelikan. Almarhum Darman Gondo kelahiran Klaten, saat remaja ikut pamannya yang bermukim Sragen. Sunat pada zamannya tampak masih primitif bila dinilai berdasarkan ukuran medis zaman sekarang. Orang disunat tidak menggunakan pisau, gunting, atau laser melainkan sembilu terbuat dari batok kura-kura. Jangankan obat bius, perbanpun belum tersedia.
Darman Gondo setiap siang harus menjemur burungnya yang bengkak bernanah sehabis dipotong di atas rel kereta api yang melintas di desanya. Dengan alas daun pisang muda yang ditaruh di rel, Darman Gondo melakukan terapi buat memeras nanah yang membuat bagian bawah pusarnya senut-senut setiap hari. Infeksi akibat luka sayatan juga membuat Darman Gondo demam. Jangan harap ada obat penurun panas. Apalagi antibiotik pembunuh virus atau bakteri penyebab infeksi. Luka sunat bagi lelaki pedasaan seperti Darman Gondo sungguh menyiksa lahir batin selama berbulan-bulan.
Sesudah dijemur di atas rel beralas daun pisang muda, tubuh Darman Gondo terasa agak mendingan. Demam berangsur turun. Rasa nyeri bercampur senut-senut berkurang. Itu karena nanah yang membuat burung Darman Gondo bengkak sedikit demi sedikit diserap daun pisang. Suhu tinggi rel kereta api yang terjerang matahari membuat daun pisang bekerja efektif. Daun pisang itu sebelum dibuang bentuknya tampak mengerikan. Tidak perlu diceritakan di sini bagaimana bentuk dan baunya karena bisa memadamkan selera makan siang pembaca.
Getah pohon pisang memiliki khasiat menyembuhkan luka sayat. Di desa-desa, bahkan hingga sekarang, bila ada tukang kayu atau penyabit rumput mengalami luka tebas parang atau sabit, pasti memotong tunas pisang buat dioleskan di bagian tubuh yang tergores. Begitulah pertolongan pertama orang desa mengatasi trauma akibat luka sayat. Terapi cairan getah yang ada di selembar daun pisang setiap hari itulah yang menyembuhkan Darman Gondo dari infeksi.
Bila luka tubuh agak memar dan dalam biasanya orang desa mencari siput. Olesan lendir siput juga terbukti bisa mencegah infeksi dan tetanus. Mungkin itu sebabnya, masyarakat Kediri dan Blitar sangat gemar menyantap keripik dan sate bekicot. Binatang bercangkang itu turut andil menjaga kesehatan masayarakat di sana. Khasiatnya dalam menyembuhkan pelbagai penyakit sesudah pembedahan tak perlu diragukan lagi. Bekicot sampai harus didatangkan dari daerah lain seperti Bondowoso, Jember, dan Lumajang.
Bagi sebagian orang desa trauma sunat memang menyeramkan. Seorang kawan tetangga desa bahkan tidak berani pulang ke rumah setiap orang tuanya menyelenggarakan pesta hajatan---penikahan, aqiqah, dan syukuran kelahiran bayi. Dia selalu punya alasan kuat untuk tidak pulang. Takut kalau-kalau nanti ia disunat. Sudah menjadi kebiasaan orang desa menyelenggarakan acara rangkap dalam saru hajatan. Sunatan anak bungsu diboncengkan pada pesta nikah anak pertama. Biar ringkes, hemat, dan tak terlalu ribet masalah tenaga dan beaya.
Kawan tadi itu, saking traumanya, selalu beranggapan bahwa setiap kali rumahnya punya hajatan, pasti akan menyunatkan dia. Dia memilih kabur dari rumah. Sampai suatu ketika keluarganya heboh. Anak itu ditemukan nyaris tewas kehabisan darah di tengah kebun saat menggembalakan kambing. Keluarganya curiga sudah hampir maghrib, kok, kambing-kambingnya belum juga digiring ke kandang. Dia menyunat sendiri burungnya dengan sabit. Dia, rupanya, malu sampai dewasa “kulit melinjonya“ belum kunjung dikelupas juga.
Masih soal tetangga kampung. Ada kawan yang sampai harus disunat tiga kali. Selesai sunat pertama kulit melinjonya tumbuh lagi. Disunat kedua kali tumbuh lagi. Baru pada kelupasan ketiga melinjonya tak mengeluarkan jengger lagi. Ha, ha, ha.
Saya sendiri punya pengalaman tidak nyaman saat menjalani ritual sunatan. Saya disunat bareng adik kandung lelaki pada liburan panjang sehabis lulus SD. Itu terjadi di akhir tahun 70-an. Saya bisa merasakan penderitaan yang dialami dalang Darman Gondo. Kami disunat nyaris tanpa pesta. Tetangga juga tidak ada yang diberi tahu. Yang kami berdua tahu, kalau mau disunat, beberapa hari sebelumnya, bapak belanja sarung dan baju baru. Bapak nyewa becak buat mengantar kami ke rumah Juru Supit di desa sebelah.
Kami disuruh berbaring di tempat tidur. Tiba-tiba kres. Dua hari kemudian sekujur badan njarem semua. Kami juga susah berjalan. Tiap siang hari, sepanjang hampir satu bulan, kami seperti Darman Gondo, harus menjemur burung kami yang lagi merana di bawah sengatan terik matahari. Suatu hari pernah kami mendapat malu besar. Saat lagi asyik-asyiknya menjalani terapi matahari ada rombongan mbak-mbak melintas pulang sekolah. Amboi. Kami tidak sadar kalau ada orang hendak melintas. Kami tidak cukup sigap kembali menutup aurat dengan sarung. Mereka pating cekikik menahan tawa. Rupanya mereka baru saja melihat alat peraga anatomi tubuh dalam arti sesungguhnya. Biasanya mereka belajar ilmu faal, kan, dari buku, gambar, dan alat peraga di laboratorium bilogi.
Pengalaman paling tragis sunatan pernah menimpa 26 lelaki dari Bandung di tahun 80-an. Mereka menggugat Juru Supit. Saat menggugat rata-rata usia mereka 25 tahun. Para penggugat sudah lulus sarjana, dan tengah bersiap membangun mahliga rumah tangga. Mereka disunat oleh Juru Supit yang sama pada usia balita. Kultur masyarakat Sunda memang menyunatkan anak saat balita. Para penggugat disunat pertengahan tahun 60-an. Usia Juru Sunat sudah hampir 70 tahun.
Sidang pengadilan, saat gugatan diajukan, gaduh penuh gelak tawa hadirin. Pihak tergugat diwakili anak-anak Juru Supit. Juru Supitnya sendiri sudah lama meninggal. Pihak tergugat bingung: kesalahan orang tua, kok, anak-anak mesti tanggung? Juru Supit dianggap lalai karena menyebabkan burung para penggugat cacat seumur hidup. Karena sudah wafat, keteledoran ditimpakan pada ajli warisnya.
Kepala burung penggugat ikut terpangkas saat disunat. Para penggugat malu “burung mereka tanpa kepala” padahal pesta perikahan sudah dekat. Ada yang sudah membetulkan piranti vitalitas mereka dengan silikon. Tapi mereka galau, silikon bisa lepas ketika tengah keras bekerja  menafkahi istri. Ibarat mengelupasi kulit melinjo, biji terdalamnya ikut kepangkas karena mata Juru Supit sudah rabun. Apalagi buah melinjo dikelupasi kulitnya saat masih kecil-kecil dan amat muda.
Sunatan sesungguhnya simbol kekerasan. Sunat itu inisiasi yang menandai proses seorang lelaki memasuki dunia spartan yang keras dan macho. Proses inisiasi, apapun ritualnya, di manapun, dan kapanpun selalu identik dengan derita yang menyiksa lahir batin.
Piranti seks itu sendiri sebenarnya asal-usul kekerasan. Ini tampak dalam ritus menstruasi yang dialami perempuan dewasa setiap bulan. Juga ditemukan dalam pertumpahan darah yang menandai syisah payahnya proses melahirkan yang mengandung risiko kematian bayi, ibu---atau keduanya. Maka sunat mengandung ajaran pengendalian diri.
Dalam khasanah budaya Jawa dikenal falsafah nutupi babahan hawa sanga. Menutupi sembilan lubang pada permukaan kulit lelaki: mata, hidung, mulut, telinga, tetek, pusar, kelamin, pori-pori, dan dubur. Lubang perempuan berjumlah sepuluh karena salurin urin terpisah dari lubang sanggama. Sembilan atau sepuluh lubang itu bila diumbar menjadi sumber hawa nafsu---asal muasal segala kenikmatan yang ternikmat. Dan, yang namanya hedonisme selalu mendatangkan bencana, kesialan, dan mara bahaya. Segala kenikmatan memang melenakan sekaligus menyenangkan.
Sebaliknya babahan hawa sanga bila dikendalikan menjadi sumber kebahagiaan. Sudah menjadi hukum besi: jalan kebahagiaan rutenya terjal, mendaki, penuh godaan, dan onak duri. Penyakit degeneratif mematikan seperti kanker dan strokeberry  timbul karena manusia modern tidak bisa mengendalikan lidah dan asupan yang masuk ke mulutnya. Kejayaan artis, politisi, dan pemuka masayarakat tiba-tiba amblas karena video mesum mereka beredar luas di internet. Mereka melupakan pesan etis salah satu judul novel Jenar Maesa Ayu: Jangan Main-Main dengan Kelaminmu.   
Sunat menyengsarakan tapi membahagiakan. Lelaki, dengan dionceki melinjonya, dilatih untuk disiplin mengendalikan diri. Esensi sunatan itu latihan hidup tabah agar tahan uji.***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Kolomnis dan peresensi buku. Penulis buku Simply Amazing(2009) dan editor buku Tapal Batas (2011). twitter: @jsumardianta. fb: johannes sumardianta

Kisah Mengharukan Pemudik Bersepeda Motor


Esai Lebaran 1433 H
Kupat Luwar Pasukan Semut
Oleh: J. Sumardianta*
Seorang raja menawarkan hadiah besar bagi seniman yang bisa memenangi sayembara melukis kedamaian di atas kanvas. Banyak perupa ikut sayembara. Dua seniman masuk nominasi juara. Lukisan pertama menggambarkan danau teduh. Pantulan sempurna bagi pegunungan tenang yang menjulang di sekelilingnya. Semua orang mengira lukisan itulah yang bakal memenangi tropi.
Lukisan kedua menggambarkan pegunungan tandus gersang. Langit tampak sedang murka di atasnya. Hujan tumpah. Petir mengamuk tiada henti. Di lereng yang curam terdapat air terjun berbusa-busa. Semak belukar tumbuh di balik air terjun, di antara retakan batu karang. Seekor induk burung belibis sedang menyelesaikan sarang di sana. Di tengah-tengah gejolak amarah air, induk belibis betengger di sarangnya dalam ketenangan nyaris sempurna.
Raja memilih lukisan kedua. "Kedamaian bukan berarti berada di suatu tempat yang bersih dari bahaya, sepi dari ancaman, atau terbebas dari tuntutan disiplin kerja, ujarnya." Kedamaian maknanya ketika hati Anda tidak ciut kendati berada di tengah kesulitan dan tantangan.
          Metafora burung belibis membangun sarang di tempat berbahaya amat kena dipakai buat menjelaskan hasrat para pemudik kembali ke desa mereka menjelang Hari Raya Idul Fitri. Lik Tarno (36) dan Yu Warti (33) bagaikan perupa yang memenangi sayembara raja. Pasangan suami istri ini memboncengkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil dengan sepeda motor mudik dari Bogor ke Kulon Progo. Berangkat subuh sampai di desa Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, DIY hampir subuh. Mereka tampak lusuh, penat, dan tampias kejujanan sesudah menempuh perjalanan berat dan panjang melewati Puncak, Cianjur, Bandung, Tasik Malaya, Ciamis, Banyumas, Kebumen, dan Purworejo.
            Tarno dan Warti, salah satu dari jutaan “pasukan semut’, julukan polisi buat para pemudik sepeda motor, yang meninggalkan kota-kota besar di Jawa buat pulang kampung di hari lebaran. Mereka mudik menggunakan sepeda motor karena lebih praktis, murah, dan langsung sampai ke tujuan. Tarno kapok mudik berjubel di dalam bus bumel atau kereta ekonomi. Sampai di terminal atau stasiun tujuan masih harus pating greweng (ribet) gonta-ganti angkutan untuk sampai desanya. Belum lagi perasaaan terhina dilangkahi sesama penumpang atau pedagang asongan saat berdesak-desakan di lantai kereta yang tumpat pedat pemudik.
            Tarno menyadari mudik bersepeda motor berbahaya dan berisiko tinggi. Miris juga, katanya, tiap kali mendapati sepeda motor sesama pemudik bergelimpangan dan tumpah bersama seluruh muatannya di jalan raya karena pengendaranya teledor, tergopoh, atau mengantuk. Ia, saat mulai diserang perasaan kemrungsung dan cenderung ngebut memilih ngaso di SPBU atau masjid. Tak heran, dengan kecepatan rata-rata 50-70 Km/jam, ia memerlukan waktu tempuh 22 jam.
Beginila doa yang dipanjatkan Tarno setiap kali hendak memulai perjalanan: Gusti kula nyuwun slamet lahir batin. Tinebihna kula sak kaluargi saking bebaya saha pengapesan Tuhan aku memohon keselamatan jiwa raga. Jauhkanlah kami sekeluarga dari mara bahaya dan kesialan. Ia amat menikmati perjalanan. Rute yang terjal, berkelok, mendaki, dan penuh onak duri justru memicu adrenalinnya. Kuncinya fokus dan konsentrasi.
Tarno dan keluarganya setiap tahun nekat membelah Jawa bagian selatan dengan sepeda motor. Tarno merindukan suasana riuh rendah berkumpul dengan keluarga besarnya. Amboi. Lidahnya terlalu cerdas buat melupakan aroma khas kuah gulai ayam masakan simboknya yang disiramkan di atas ketupat rajangan. Aroma gulai itu bagaikan panggilan suara simbok yang menggema terus tiada henti di bulan Ramadhan.
Ketupat memang punya kenangan tersendiri bagi Tarno. Puasa itu menjalankan perintah agama. Belah ketupat sepulang shalat Ied itu tradisi sehabis menjalankan ibadah puasa. Di masa remaja ia pernah mendapat tauziah dari mendiang kakeknya perihal ketupat yang selalu dihidangkan bersama opor dan sambal krecek di hari lebaran. Ketupat matang yang keras dan dingin sesungguhya lambang hati manusia yang cenderung kaku dan egois. Bungkus ketupat yang terbuat dari janur berwarna kuning kehijauan mengambarkan fitrah manusia yang senantiasa harus memperbaharui dan meremajakan diri dengan saling memberi maaf. Permaafan bersama memberidan mengasihi merupakan tiga jalan menuju kebahagiaan dengan cara berdamai dengan orang lain.
Orang Jawa menyebut ketupat dengan ungkapan kupat luwar. Kupat merupakan simbol pembebasan dari belenggu masa lalu. Disajikan dengan cara dibelah memakai pisau tajam sebagai simbol ngluwari---pembersihan dari khilaf dan dosa. Kuah opor atau gulai yang diguyurkan di atas ketupat melambangkan semangat untuk memadamkan amarah, nafsu, iri, dan dengki.
Tradisi halal bihalal masih terasa kental di kampung halaman Tarno. Permaafan melepaskan Tarno dari belenggu kesalahan masa lalu dan menyadari bahwa yang menjadi tawanan masa lalu tidak lain dirinya sendiri. Permaafan yang membuatnya kembali kuat mengarungi hidup di jaman edan ini. Pertama-tama Tarno memaafkan diri sendiri. Agar perasaan malu dan penyangkalan diri tidak terlalu berat untuk dipikul. Ia juga memaafkan orang lain atas peran mereka dalam membuat kecewa dan sedih.
Tujuan hidup Tarno bukan untuk memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus berkembang dan tumbuh. Selain berdamai dengan orang lain, Tarno berusaha berdamai dengan diri sendiri: ia berusaha senantiasa sabar, bersyukur, dan bersahaja. Shalat Ied di Lapangan, bagi Tarno, merupakan puncak dari hasrat baktinya kepada Sang Khalik. Tarno berusaha pasrah, sumarah, dan berdamai dengan Tuhan 
Begitulah pergulatan para pemudik membangun sarang kebahagiaan. Fitrah manusia itu niente senza gioia. Manusia selalu mengusahakan hari-harinya bergelimang kegembiraan. Kendati kegembiraan, meminjam istilah Ranggawarsita, harus diperjuangkan di tengah ganasnya hukum rimba jaman tega---kala tida. ***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta, penulis Simply Amazing (2009) & Editor Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (2011).