Selasa, 08 Januari 2008

Resensi Buku KOMPAS Minggu, 17 Juli 2005
Berjumpa Tuhan dalam Segala
Penulis: J. Sumardianta
Almarhum Tamin, legenda ludruk dari Malang, Jawa Timur, adalah pelawak yang hidupnya total didedikasikan untuk panggung kesenian. Ironisnya, Tamin tidak punya pakaian kecuali yang melekat di tubuhnya.
Petualangan Tamin dalam kemiskinan merupakan lawakan nyata yang sungguh surealis. Ia sering berendam lama di Kali Berantas menunggu kering satu-satunya jemuran yang baru dicuci. Di sungai ini pula hidung Tamin yang busuk tanggal diterjang air terjun. Pelawak dengan hidung growong ini walau menderita hidupnya bermartabat.Meski berkekurangan, tetapi Tamin dikenal seniman yang merdeka, tak terikat apa pun. Di panggung maupun dalam pergaulan lumrah, Tamin selalu membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Ia membuat orang yang letih lesu bisa menertawakan diri dan kondisi. Hidup sejenak menjadi nyaman karena seluruh beban hidup diringankan."Tertawa adalah persepsi terhadap situasi yang kontradiktif," kata filsuf Emmanuel Kant seperti dikutip Sindhunata, penulis buku ludruk Ilmu Ngglethek Prabu Minohek. Tawa orang miskin yang didera busung lapar dan krisis bahan bakar adalah kegembiraan dalam kesedihan. Tawa penguasa yang merengek terus minta kenaikan tunjangan adalah kebahagiaan penuh kemunafikan."Apabila kehidupan sehari-hari rasanya miskin, janganlah kau keluhkan, tetapi sesalilah dirimu karena kamu tidak cukup tabah untuk menggali kekayaannya,"demikian adagium Rilke, penyair Jerman.Sepintas absurditas kehidupan Tamin tidak mengandung dimensi rohani. Tetapi, bila direnungkan dalam-dalam, Tamin kaya-raya harta karun spiritual. Tamin, meminjam kerangka berpikir William James dalam buku Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia, adalah gambaran pribadi yang merealisasikan nilai-nilai luhur sarat pengalaman spiritual. Kemampuan Tamin melucuti paradoks dan tragedi dengan mengubahnya jadi canda tawa itu disebut antropolog James Scott sebagai weapon of the weak (senjata kearifan kaum rudin).Protes Tamin bukan dengan diam atau revolusi yang hanya memangsa orang jelata sendiri, melainkan dengan mengironikan penderitaan. Ironi melegakan karena memberdayakan orang miskin untuk bisa menertawai kesengsaraan. Kaum kecingkrangan, menyitir Karl Rahner, teolog masyhur Jerman abad ke-20, berkat ironi bisa mencapai transendensi-pengalaman diberdayakan Sang Adikodrati melalui mistisisme konkret sehari-hari.Buku Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia karya William James, bapak psikologi Amerika, bila diperas menggunakan teknik resensi focusing, saripatinya memang penghayatan spirit tasawuf dalam hidup sehari-hari. Dalam ajaran Ignatius Loyola, mistikus Spanyol abad ke-16 yang dikaji William James, mistisisme konkret berpangkal pada pengalaman nyata itu disebut "sastra gumelar ing jagat (Pinanggih Gusti ing sembarang kalir)". Maksudnya, manusia bisa menjumpai Tuhan dalam dan melalui peristiwa-peristiwa sehari-hari yang tampak bersahaja.Ungkapan syukur!Mengalami perjumpaan dengan Tuhan bukan hanya di saat orang berdoa dan beribadah. Juga saat mencangkul di sawah, menyabit rumput, menggembalakan ternak, mencari kayu bakar, bekerja di pabrik, dan berjualan di pasar.Tuhan juga bisa ditemukan terlebih dalam penderitaan, kesukaran, kelemahan, dan penyakit. In actionem contemplativus, segala tindak-tanduk manusia bila dihayati bisa menjadi ungkapan syukur pada Yang Mahakuasa.William James adalah anggota sebuah generasi yang membangun filsafat Amerika seangkatan dengan John Dewey dan George Santayana. Agama dan pengalaman religius merupakan dua kata kunci buku William James. Agama bagi William James (1842-1910) bukanlah dogma, lembaga, dan hierarki kepemimpinan yang terkesan formal dan kaku melainkan pengalaman kerohanian dalam praktik keberagamaan yang unik dan personal.Agama dalam paradigma James tidak lain segala perasaan, tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka saat berhadapan dengan apa pun yang mereka anggap sebagai yang Ilahiah. Sedangkan pengalaman religius meliputi pemikiran, penghayatan, keyakinan, dambaan, dan tindak-tanduk yang berkaitan dengan religiusitas.Pengalaman religius itu berakar pada kesadaran mistis. Dunia nyata Ini dalam pandangan William James bagian dari jagat spiritual yang lebih luhur tingkatannya dan memberi makna pada dunia nyata. Harmoni di antara keduanya merupakan tujuan hakiki manusia guna meraih kebahagiaan lahir batin.William James memang memberi legitimasi pada kehidupan sunyi kaum mistikus. Kendati kritis terhadap lembaga-lembaga yang potensial menghambat dorongan keberagamaan yang personal, James tidak bermaksud mengobarkan anarki spiritual. Ia tetaplah pemikir yang senantiasa merindukan keteraturan.James menganggap buku ini sebagai sebentuk nazar untuk menunaikan janji kepada Henry James, ayahnya, bahwa suatu hari ia ingin berurusan dengan agama secara sistematis. Maklum, William James dibesarkan dalam keluarga republikan, yang tidak mendidik anak-anaknya dengan agama yang benar ala kaum Presbyterian.Buku ini merupakan karya menonjol pada bidang psikologi agama yang ditakdirkan sebagai buku agama paling berpengaruh yang diterbitkan pada awal abad ke-20. Semula merupakan bahan-bahan kuliah William James saat diundang menjadi dosen tamu di Universitas Gifford Edinburg Skotlandia (1901-1902).Pertama kali dipublikasikan pada tahun 1902, sampai tahun 1935 buku best seller ini telah naik cetak 35 kali. William James mengedepankan fenomena keagamaan dalam pandangan orang-orang yang mengalaminya sendiri. Itu sebabnya membantu upaya menampilkan banyak kesaksian tentang kekuatan iman pada kehidupan manusia.William James, sebagai peletak dasar psikologi pragmatis memandang agama dari buah-buah rohani yang dihasilkannya. Pada zaman kuantum sekarang ini, agama telah direduksi menjadi barang konsumsi oleh siapa saja yang sedang keranjingan berbelanja hal-hal spiritual. Sekularisme nyaris membuat manusia jadi pengemis. Berdoa hanya untuk minta jodoh, rezeki, pangkat, kelancaran bisnis, sembuh dari penyakit, dan bebas dari segala macam kesulitan.Buku ini mengajak orang kembali bersyukur dan bersembah sujud dalam kesatuan mistik dengan Sang Adikodrati. Bukan menyogok Tuhan agar mau tunduk pada segala hukum permintaan manusia.
J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Yogyakarta

Tidak ada komentar: