Minggu, 13 Januari 2008

Artikel di Rubrik TEROKA KOMPAS, 2006
Bahagia dalam Sengsara: Senjata Orang yang Kalah
J Sumardianta
Chuang Tzu, Bapak Taoisme, gemar menyamakan dirinya dengan kupu-kupu. Menjelang wafat, para murid sepakat hendak membaringkan Chuang Tzu dalam peti indah agar jasadnya tidak dimangsa burung gagak.Chuang Tzu menghardik, "Kalian takut aku dimangsa burung gagak. Toh dalam peti indah sekalipun aku tetap dimakan cacing dan rayap. Jadi sama saja." Chuang Tzu tidak mau terikat dengan apa pun di dunia yang fana. Sebagaimana kupu-kupu, Chuang Tzu ingin terbang lepas bebas.Kupu-kupu memang identik dengan cinta, kerendahan hati, kebahagiaan, kebebasan, dan pengorbanan. Di penghujung musim kemarau, kupu-kupu kuning biasanya terbang dari arah barat menuju utara. Mereka bermigrasi mengikuti semilir angin bertiup. Kupu-kupu kuning berbondong-bondong dalam jumlah besar hanya untuk mati di utara. Kupu-kupu itu menjadi pertanda sebentar lagi musim hujan akan datang. Serangga ini memberikan perasaan sunyi yang indah. Kupu-kupu merupakan simbol pengorbanan hidup supaya hujan jatuh membasahi dan menyuburkan bumi.Kupu-kupu kuning merupakan ilustrasi bagus buat menggambarkan ketangguhan dan keteladanan spiritual Ram Chander dan Hasari Pal—dua tokoh keserakat dalam buku klasik Dominique Lappiere, The City of Joy (1985). Hasari Pal bersama istri dan ketiga anaknya adalah petani yang terdampar di Calcutta, India, akibat bencana kekeringan berkepanjangan. Hasari bekerja sebagai penarik angkong (ricksaw). Pekerjaan kasar jenis ini sering diledek sebagai manusia kuda.Senjata orang kalahKehidupan penarik ricksaw miskin, keras, dan menderita. Bekerja nyaris tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan. Mereka penghirup polusi udara terburuk di dunia. Obyek pemerasan polisi kota praja. Biasa terbunuh di jalanan karena kejeblos lubang drainase yang menganga tutupnya karena dicuri orang di saat banjir. Menjelang pemilu sering dieksploitasi pengurus partai yang berdalih membela orang miskin.Kendati ia kecingkrangan (tidak berdaya), kehidupan Hasari sesungguhnya diliputi kebahagiaan dan dipenuhi perasaan syukur. Sebelum mati, dipagut tuberkulosis, Hasari menjual kerangka tubuhnya ke perusahaan alat peraga kedokteran agar bisa mendapat biaya pesta pernikahan Amrita, anak perempuannya. Penganut Hindu yang saleh ini menerima nasib menjalankan tugas suci yang harus ditunaikan agar memperoleh kehidupan lebih baik sesudah reinkarnasi.Bagaimana penarik angkong menyalakan harapan hidup supaya bisa bertahan dalam kesulitan, tegar dalam pergulatan, dan tabah menghadapi kekerasan? Ram Chander, bekas petani yang tidak kunjung bisa menghapus utang keluarganya di Provinsi Bihar, bertutur, "Masih terbayang di mata bagaimana istri saya menggandeng tangan anak saya, berdiri di ambang pintu gubuk kami seraya mengusap air mata. Kami sering bicara tentang rencana kepergian dan sekarang saatnya tiba. Ia menyiapkan sebuah ransel berisi satu longhi, kemeja, dan handuk. Ia bahkan membuat chapati (martabak India) dan potongan sayur-sayuran sebagai bekal perjalanan. Sampai mati akan tetap terkenang. Ingatan mesra tentang keluarga yang berdiri di depan gubuk lempung itulah yang membuat saya tetap bertahan di kota bengis ini."Ram Chander bermimpi suatu hari ia akan kembali ke desanya dan membuka kedai pracangan di sana, dan duduk di kios itu sepanjang hari, tanpa berlarian. Ia ingin bertakhta di warungnya, dikelilingi karung- karung penuh segala macam kacang dan beras. Dan, wadah-wadah yang mengeluarkan aroma rempah, bumbu dapur, dan onggokan sayur. Di rak tersedia sabun, dupa batangan, biskuit, rokok, dan makanan kecil. Ram tidak pernah bisa pulang ke desanya sebagaimana para penarik angkong lain. Ram mati dipagut radang paru-paru.Hasari Pal dan Ram Chander wujud kearifan India "segala yang tidak kita berikan akan lenyap sia-sia". Mereka alegori perihal penderitaan, kematian, dan kehancuran yang bergandengan tangan dengan belas kasih, harapan, dan cinta. Kisah bagaimana manusia belajar dalam situasi paling kelam, tetapi bisa menyalakan semangat hidup. Persis yang dikatakan Rabindranath Tagore, pujangga India peraih Nobel, "Penderitaan itu agung, tetapi manusia tetap lebih mulia dari penderitaan."Kaum paria menjadi manusia luar biasa berkat kemampuan mereka melampaui kekejaman hidup yang tidak ramah. Antropolog James Scott menyebut kemampuan ini sebagai Weapon of the Weak (senjata kearifan kaum rudin). Ironi melegakan karena memberdayakan kaum rudin untuk bisa menertawai kenistaan. Kaum paria, mengutip almarhum Karl Rahner, teolog masyhur Jerman abad ke-20, berkat ironi sukses menggapai transendensi—pengalaman dikuatkan sang adikodrati dalam mistisisme konkret sehari-hari.Menaklukkan hipokrisiNasib tukang becak di Yogyakarta setali tiga uang dengan penarik ricksaw di Calcutta. Mereka tak ubahnya pelanduk yang menerjunkan diri ke air guna membebaskan diri dari kejaran binatang buas, tetapi tukang becak mendapati diri dikepung gerombolan buaya.Kendati memelas, bila didekati secara mendalam, dari warung-warung tempat mereka melepas penat seraya mengudap makanan, keseharian tukang becak memancarkan kegembiraan, semangat, dan harapan. Inilah sisi-sisi terang tukang becak bergelimang ketegaran, kebersahajaan, cinta, berkah, kepuasan, ketenteraman, perasaan syukur, ikhlas mengalir, keberuntungan, dan keselarasan. Ada tentu, tukang becak licik dan pemeras.Becak merupakan pantulan hidup bernilai, bermakna, dan tujuan hidup mendasar dari wong kabur kanginan: orang tidak berumah, tidur di jalanan. Transendensi terbaca dari slebor-slebor becak pribadi mereka. Waton Urip, artinya, bukan hidup ngawur dan seenaknya sendiri, melainkan berani hidup tanpa memberontak terhadap kehidupan. Banyu Mili atau Lumintu, memuat keyakinan, kendati sedikit toh rezeki bakal mengalir terus tiada henti. Sri Rahayu, membuktikan kesungguhan tukang becak dalam membesarkan dan melindungi anak perempuan.Kendati berornamen sederhana slebor becak bertuliskan Ningsih (dicintai setiap orang), Barokah (terberkati), Prasojo (bersahaja), Marem (kepuasan), Bejo (beruntung), Sami-Sami (penerimaan dan pemberian diri tanpa syarat), Gemah Ripah (subur makmur), Prihatin (bermati raga), dan Raharja (maju) sesungguhnya memuat harapan dan motivasi hidup para tukang becak. Slebor-slebor becak itu refleksi pandangan hidup Jawa manggihaken kabegjan ing sak lebeting kecingkrangan (menemukan kebahagiaan dalam ketidakberdayaan) dan kabegjen iku tansah ana kekurangane (kebahagiaan itu senantiasa mengandung ketidaksempurnaan).Becak, di zaman serba motor, seolah merendahkan martabat manusia. Penghela mengeksploitasi diri layaknya kuda beban. Namun, dalam diri Pak Kliwon, Pak Zaenal, Pak Sukiman, bahkan mBok Ponirah, tukang becak perempuan, tidak ada fatalisme dan sikap menyerah. Mereka simbol konsolasi (filsafat kegembiraan) bukan desolasi (filsafat kemuraman). "Apabila kehidupan sehari-hari terasa miskin, jangan kau keluhkan, tetapi sesalilah dirimu karena tidak cukup tabah untuk menggali kekayaannya." Alegori penyair masyhur dari Jerman, Rainer Maria Rilke (1872-1926), ini amat sesuai buat menggambarkan semangat dan integritas penarik becak.Pak Kliwon (60 tahun), yang sehari-hari mangkal di dekat Stasiun Lempuyangan, gampang bersyukur karena badan tidak cacat untuk memenuhi nafkah keluarganya. Pak Sukiman tak pernah menumpang bus saat pulang ke desanya. Ia mengayuh becaknya sampai Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Perjalanan ditempuh lima jam karena harus berhemat supaya anak-anak tetap bisa sekolah. Ponirah (55), lebih heroik lagi. Sudah 15 tahun ibu lima anak ini mbecak. Sepeninggal suaminya karena kanker, Ponirah harus menanggalkan urat malu. Ponirah pernah ditempeleng sesama tukang becak dan ditendang polisi demi mencicil utang. "Tertawa adalah persepsi terhadap situasi yang kontradiktif," kata filsuf Emmanuel Kant.Strategi hidup dengan memaksimalkan kekuatan unik, seperti solidaritas sosial, keberanian, keuletan, integritas, kebaikan hati, pengendalian diri, dan rendah hati, rupanya membuat tukang becak mampu mentransendensi kesulitan dan meloloskan diri dari tirani kekejaman dunia.Transendensi merupakan sinergi kekuatan dari dalam yang menjangkau keluar sebagai penghubung tukang becak dengan sesuatu yang permanen dan lebih akbar—spontanitas, kesadaran diri, terbimbing visi dan nilai, mental holistik, kepedulian, independen pada lingkungan, mengambil manfaat dari kemalangan, dan keterpanggilan.Wahai para politisi ambisius dan para saudagar gelojoh yang berlumuran kekayaan material namun busung lapar di gurun spiritual, hentikanlah intrik maupun pat-gulipat dengan meneladani ketangguhan spiritual tukang becak. Agar bangsa Indonesia tidak terjun bebas terus di lembah ketiadaan karena pemimpinnya bermental budak-berjiwa kerdil.
J Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Yogyakarta

Tidak ada komentar: