Jumat, 04 Januari 2008

Resensi Buku Hidup Bijak di Jalur Lindu, KOMPAS Minggu, 30 September 2007

Resensi Buku Pustaka Loka KOMPAS
Hidup Bijak di Jalur Lindu
Judul buku 1: Setelah Gempa 30 Juta sKalla Richter
Penulis: IB. Shakuntala
Pengantar: G. Budi Subanar
Penerbit: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2007
Tebal: xxvi + 2001 halaman
Judul buku 2: Kisah Kisruh di Tanah Gempa (Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006)
Editor: AB. Widiyanto
Pengantar: Susetiawan
Epilog: Francis Wahono
Penerbit: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2007
Tebal: xxix + 573 halaman
Judul Buku 3: Apa Kabar Jogja Lama Tak gempa (Napak Tilas Persoalan Gempa Bersama Kang Gempil dan Yu Nami)
Penulis dan Ilustrator: Bambang Shakuntala
Pengantar: St. Sunardi
Penerbit: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2007
Tebal: xi + 97 halaman
“Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh di hadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-mu”.
Refrasa Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian, dalam memoar Night (1958) nan mashyur itu, sangat kontekstual buat mengapresiasi trilogi buku hidup bijak di atas jalur lindu. Ketiga buku ini membela dan menyantuni para korban bencana alam yang berdaya tahan (survivors). Terasa relevan karena risiko survivors bertengger di lempeng benua yang lagi gemar mengeliat dan bergolak.
Bangsa Indonesia memang bangsa yang hidup di negeri yang kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pangandaran digulung tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru di musim kemarau sedang menggila di seantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Bitung, belum lama ini, disatroni lindu.
Buku trilogi gempa merupakan dokumentasi paling detil, bergelimang data, kritis, dan kontemplatif menggunakan sudut pandang korban. Setelah Gempa 30 Juta sKalla Richter karya Bambang Shakuntala adalah satir kronologis manajemen penanggulangan bencana gempa tektonik di Yogya-Jateng. Bambang, redaktur Buletin Mingguan SUARA Korban Bencana, terbit di Yogyakarta, bertolak dari ketidakberesan manajemen bencana sejak dari masa tanggap darurat, tahap rehabilitasi, sampai tahap rekonstruksi. Bambang menandai gempa tektonik 27 Mei 2006 dengan surya sengkala (penanggalan Jawa berdasarkan kalender matahari) “Rasa Sonya Ilanging Panembah (Hilangnya kesadaran untuk berbakti)”.
Surya sengkala itu ditujukan buat pejabat negara yang justru menimbulkan guncangan psikologi-sosial-politik susulan hebat karena janji yang tak pernah direalisasi. Rumah rusak berat, sedang, dan ringan berturut-turut akan diberi ganti rugi 30 juta rupiah, 20 juta rupiah, dan 10 juta rupiah. Nyatanya dana rekonstruksi rumah yang realisasikan 15 juta rupiah, 4 juta rupiah, dan 1 juta rupiah. Itu pun masih disunat praktik penggangsiran dan manipulasi di sana-sini.
Buku ini dikerjakan berdasarkan pengalaman penulisnya melakukan advokasi di lapangan. Ada kesamaan antara legenda Bandung Bondowoso dengan para korban gempa dalam mengatasi persoalan. Bandung Bondowoso harus membangun seribu candi dalam semalam sebagai syarat menyunting Roro Jongrang. Menjelang fajar, tatkala ayam mulai berkokok, patung candi seribu kurang satu. Hati Bandung Bondowoso pegal dikadali sayembara muskyl wanita pujaan. Roro Jonggrang dikutuk menjadi candi keseribu. Guna menyalurkan kekecewaan, para korban membuat patung pejabat pengumbar janji dana rekonstruksi. Patung dipikul ke Gedung Agung (istana kepresidenan) Yogyakarta tatkala sang pejabat datang. Bedanya? Patung Roro Jonggrang masih bisa dilihat di Candi Sewu Prambanan. Patung pejabat luluh-lantak dibikin bancakan warga Bantul.
Pada masa rehabilitasi, banyak komunitas di Yogyakarta dan Jawa Tengah melakukan kerja bakti. Mereka datang dengan truk carteran. Bawa peralatan kerja, makanan, dan minuman sendiri. Tanpa merepotkan tuan rumah yang memang sedang berbeban berat dan letih lesu. Fenomena itu merata di dusun-dusun yang diterjang gempa. Fenomena yang kontras dengan kunjungan para pejabat yang datang silih berganti membawa janji manis di kulit pahit di isi. Tentu menyusahkan korban karena menimbulkan ketidakpastian berketiak ular. Para pejabat yang menghilang setelah mengumbar janji jelas teladan buruk keadaban publik. Inilah keniscayaan hukum besi jaman susah: rakyat pontang-panting mengatasi kesulitan mereka sendiri.
Kisah Kisruh di Tanah Gempa, mengelupasi kulit terluar hingga biji terdalam amburadulnya penanganan bencana mulai dari lapisan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten hingga pemerintah desa. 26 penulis menyajikan berbagai evaluasi dari sudut pandang berbeda namun dengan spirit keberpihakan sama---menyuarakan hak-hak korban terutama kelompok miskin dan rentan seperti anak-anak, kaum perempuan, dan penyandang difabel.
Sigit Wibowo, dalam “Monumen Keabaian”, bertutur tentang Saminten. Perempuan lajang berumur 50 tahun penduduk Gantiwarno, Klaten itu patah kaki tertimpa rumah roboh. Hak-hak survivor seperti Saminten yang miskin dan cacat tidak ada yang memperhitungkan. Akses ke sumber-sumber bantuan adalah barang mewah. Saminten butuh sepeda. Cita-citanya sederhana. Setelah sembuh, dia ingin keliling jualan siomay lagi.
Alam bukan makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Manusia yang hidup di atas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak tidak makin parah. Di dalam kesedihan, di tengah-tengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang membelasah, dan di hamparan ketidakpastian yang harus dijalani, para korban, seperti Saminten, bersikeras mempertahankan hidup dengan solidaritas dan kecerdasan sosial.
Pada minggu pertama setelah gempa, sebelum dapur umum menyala dan persediaan bahan mentah masih langka, operasi nasi bungkus sangat membantu. Bila tidak, kelaparan bakal meluas dan anak-anak kekurangan gizi. Tindakan ibu-ibu laskar nasi bungkus tuna modal berjibaku siang malam kurang tidur hanya mengandalkan penyelenggaan Ilahi adalah inti jiwa relawan sosial. Paradoks dengan operasi LSM internasional yang kebanyakan siap dengan cadangan dana besar tapi malah menghambat kerja cepat pada tahap emergensi. Emergensi butuh tindakan cepat, tepat, berharkat, bukan lamban, dan memaksakan selera.
Perilaku terpuji para korban yang berdaya tahan justru dengan telak mempermalukan para pebisnis bantuan dan kemanusiaan. Di Kampung Semaki, Umbulharjo, Yogyakarta, banyak orang-orang kecil berjiwa besar: tukang becak, penjual gorengan, buruh angkutan, pelayan toko, buruh pabrik dan bangunan, pun tukang parkir. Semangat kerja, tolong menolong, dan kejujuran mereka luar biasa dalam tanggung renteng membangun pondok bambu.
Realitas budaya masyarakat Semaki ini tentu bertolak belakang dengan proyek pembangunan rumah dome di Prambanan yang dikerjakan LSM Amerika. Bentuknya indah untuk burung merpati. Sempit dan gerah dihuni manusia. Penghuni butuh penyesuaian sosial luar biasa. Dibangun di hamparan tandus. Rumah model iglo Eskimo yang hanya cocok untuk kutub utara bersuhu 10 derajat di bawah nol disalin mentah-mentah untuk masyarakat daerah lintasan khatulistiwa bersuhu di atas 20 derajat. Butuh mesin pendingin ruangan agar teduh.
Masyarakat dusun Dermojurang, Bantul, hanya butuh gedhek (dinding rumah dari anyaman bambu) untuk membuat tempat tinggal model kandang ternak. Umpak (alas tiang dari batu), balungan (kerangka kayu), dan genting meraka kais dari sisa-sisa gempa. Rumah beton runtuh semua. Hanya kandang kerbau dan sapi yang tetap tegak berdiri. Masyarakat Dermojurang bukan sedang meledek konstruksi rumah tahan gempa para insinyur didikan universitas.
Bencana itu musibah sekaligus berkah. Kepedulian terhadap kemanusiaan bisa dilatarbelakangi kepentingan politik, bisnis bantuan, dan berbagai semangat filantropis berlumuran pamrih. Misalnya, kepedulian merancang perumahan di Aceh pasca tsunami dan rumah tahan gempa yang menutup mata terhadap kearifan lokal. Kepedulian semacam ini tak ubahnya burung gagak hendak berpesta pora memangsa bangkai yang membelasah di wilayah bencana.
Aparat pemerintah, aktivis LSM, dan donatur internasional semua bergerak atas nama kemanusiaan. Mereka bisa berperan sebagai iblis, perusak bumi, dan pendewa materi. Membonceng ideologi kemanusiaan untuk melakukan kejahatan yang mencederai kemanusiaan. Bisa pula berperan sebagai malaikat, pemelihara lingkungan, dan penyayang korban. Di tengah semarak penanganan bencana, menurut Dr. Susetiawan, kepala Pusat Studi Kawasan dan Pedesaan UGM, dalam kata pengantar, iblis berkedok malaikat memang bergentayangan di mana-mana. Mereka melupakan kearifan lama bahwa “tidak ada saku dalam kain kafan penguburan”.
Gotong royong, menurut Dr. Francis Wahono, Direktur Cindelaras Institut for Rural Empowerment and Global Studies (CIREGS), pada bagian epilog, merupakan kearifan lokal yang menjadi penyelamat utama para survivor gempa. Solidaritas adalah harta karun bangsa Indonesia yang terancam punah. Berkah bangsa ini bukan terletak pada kekayaan alam yang kemarin dibanggakan kini diratapi karena dikuras habis persekongkolan elit politik dan ekonomi lebih cepat dibanding eksploitasi penjahan Belanda dan Jepang. Berkah itu juga tidak terletak pada keunggulan komparatif buruh murah yang berakhir dengan mengekspor TKW yang kecingkrangan di negara-negara Macan Asia dan Jazirah Arabia. Keunggulan komparatif bangsa yang bertengger di jalur gebalau alam dahsyat tak lain masih adanya manusia-manusia suka bekerja keras, tulus, ikhlas, jujur, hemat, dan pantang serakah mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.
Apa Kabar Yogya. Lama Tak Gempa merupakan buku komik yang secara karikatural menampilkan Kang Gempil dan Yu Nami. Kedua tokoh kocak rekaan Bambang Shakuntala ini sesungguhnya representasi para korban gempa dan tsunami. Mereka menjadi penyintas (survivors) yang berdaya tahan karena kemampuan mengubah tragedi menjadi ironi. Para penyintas, tanpa bermaksud meromantisasi penderitaan, memang memiliki mekanisme untuk menertawakan kenestapaan hidup. Dengan menertawakan nasib tragis para penyintas bertahan dalam kesulitan dan tabah dalam penderitaan (mupus kahanan). Dostoyevsky, pernah berujar, “Jika Anda berharap untuk melihat sekilas ke dalam jiwa manusia dan ingin mengenal seorang manusia, pandanglah saat dia tertawa. Jika dia tertawa dengan lepas, dia orang bijak”.
Sejarah ibarat gelombang pasang siap menggulung dan menelan siapa saja. Kendati demikian manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah dibelah gempa dan diombang-ambingkan tsunami dapat dengan mudah dihempas ke daratan dan menjadi sampah di pantai. Para korban yang berdaya tahan yang dibela dan disantuni dalam trilogi buku lindu ini merupakan representasi unggulnya harapan manusia di zaman bergelimang daya-dera menggilas. Malapetaka rupanya gagal membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib. ***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta.

Tidak ada komentar: