Minggu, 13 Januari 2008

Resensi Buku KORAN TEMPO, 16 Februari 2003


KORAN TEMPO, 16 February 2003
Menyingkap Tabir Ideologis Pemberitaan Media
Judul: Analisis Framing (Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media)
Penulis: Eriyanto
Pengantar: Dr. Deddy Mulyana
Penerbit: LKiS-Yogyakarta, Desember 2002
Tebal: xxiv + 311 halaman
Noam Chomsky pernah berkisah perihal perompak dan armada angkatan laut kerajaan Spanyol pada abad pertengahan. Bajak laut yang tertangkap basah sedang merompak ngotot tidak mau dicokok pasukan armada kerajaan. "Mengapa kami pekerja keras yang kecil dan rentan ini disebut perompak, sementara Anda yang bergelimang kemewahan karena mengutil upeti kerajaan dalam jumlah besar disebut pahlawan?" Kisah pemikir masyhur yang sangat kritis terhadap pemerintah Amerika Serikat itu merupakan ilustrasi bagus bagaimana suatu peristiwa dimaknai secara berbeda. Peristiwa sama digambarkan berbeda memang jamak ditemukan dalam pemberitaan media, tergantung politik media dalam membingkai berita. Ada media yang memberitakan divestasi saham Indosat sebagai kiat negara menghindari kebangkrutan. Ada pula yang justru memberitakannya sebagai kegetolan Laksamana Sukardi menggadaikan negara. Buku terbaru Eriyanto ini membahas analisis framing (pembingkaian) berikut penerapannya untuk memahami pemberitaan media massa. Analisis framing memusatkan perhatian pada bagaimana media mengemas, membingkai, memaknai, dan mengkonstruksi berita. Proses framing, menurut peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta ini, dilakukan dengan menonjolkan aspek tertentu-mengaburkan aspek lainnya; menampakkan aktor tertentu-menyembunyikan aktor lainnya; dan menekankan sisi tertentu-melupakan sisi lainya dengan bantuan kata, aksentuasi kalimat, serta foto. Framing acap dijadikan senjata ampuh untuk merebut dukungan publik. Salah satu isu krusial yang berhubungan dengan mobilisasi massa adalah pemberitaan media Indonesia atas kedatangan pasukan Interfet di Timor-Timur. Pemerintah membingkai masalah ini dengan isu nasionalisme. Kedatangan Interfet dikatakan melanggar kedaulatan RI. Kehadiran pasukan terlatih dengan senjata canggih itu dikonstruksi sebagai kesewenang-wenangan konspirasi Barat. Bingkai semacam ini terbukti sangat manjur buat menyulut gerakan anti Australia dan PBB. Padahal bingkai itu bertujuan menghapus dosa militer Indonesia dalam seperempat abad kegaduhan di Timor-Timur (hlm. 143). Framing juga sering dipakai buat cuci tangan dari segala keruwetan politik masa lalu melalui mekanisme kambing hitam. Jajak pendapat Timor-Timur, lagi-lagi, dijadikan Eriyanto sebagai contoh dramatis. Kelompok Pro-Kemerdekaan menang telak dalam referendum yang diawasi lembaga internasional itu. Pemerintah mengembangkan bingkai (frame) buat menyudutkan Unamet. Kecurangan Unamet diberitakan sebagai penyebab kekalahan menyakitkan kelompok Pro-Integrasi. Kesalahan sistematis pemerintah RI sepanjang 1974-1999 hendak dihapus dengan mengambinghitamkan Unamet. Tindakan eksesif militer yang menyulut perlawanan rakyat Tmor-Timur tidak mendapat liputan memadai. Sumber masalah direduksi melulu soal kecurangan Unamet. Analisis framing adalah bagian dari paradigma konstruksionis. Konstruksionisme yang didasarkan pada teori sosiologi kritis Peter L. Berger dan Erving Goffman ini sering disebut dengan paradigma produksi atau pertukaran makna. Sedangkan paradigma positivisme disebut paradigma transmisi. Analisis isi kuantitatif, maupun model komunikasi linier ala Wilbur Schramm dan Harold Laswell, yang bercorak positivistik, kendati masih tetap mendominasi berbagai kajian komunikasi, sebenarnya sudah majal buat memahami kompleksitas wacana pemberitaan media. Media, dalam paradigma konstruksionisme, bukan saluran yang bebas, obyektif, dan memberitakan peristiwa apa adanya. Media bukan cermin realitas karena fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi realitas. Berita, dengan demikian, bersifat subyektif. Media dan wartawan bukan pelapor, melainkan agen realitas. Tak heran bila dalam konflik di Aceh dan Papua, misalnya, sisi kekejaman yang lebih banyak diliput dan ditekankan. Kerinduan rakyat Aceh dan Papua akan keadilan sering luput dari eksposur media. Ketimpangan struktural antara pusat dan daerah disederhanakan media sebagai masalah separatisme. Konflik politik akut dengan klimaks penggulingan Soeharto juga disimplifikasi melulu sebagai kerusuhan etnis. Khalayak tentu mempunyai penafsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari persepsi atau agenda pembuat berita tentang konflik dan disintegrasi itu. Bertolak belakang dengan pandangan positivisme yang beranggapan berita yang diterima khalayak sama dengan yang dimaksud pembuat berita. Model-model pembedah pesan media disistematisasi Eriyanto berdasarkan konsep framing yang dikembangkan Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson, dan Zhongdang Pan-Gerald M. Kosicki. Masing-masing model diterapkan Eriyanto dalam studi kasus analisis framing "Isu Caleg PDIP Non-Muslim" di tabloid Abadi dan Demokrat, "Isu Aryantigate" di majalah Forum Keadilan dan Panji Masyarakat, "Isu Debat Calon Presiden" di tablod Amanat dan Demokrat, dan "Isu Pengalihan Kekuasaan dari Soeharto ke Habibie" di harian Kompas dan Republika. Buku ini merupakan seri kedua dari "Trilogi Metode Penelitian Media" yang dikerjakan Eryanto. Seri pertama Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (2001). Seri ketiganya Analisis Semiotika dalam Studi Media sedang dalam proses penulisan. Analisis wacana, framing, dan semiotika lebih meyakinkan buat menelanjangi politik pemberitaan "maling teriak maling" media Barat. Pun alternatif buat menyingkap berbagai kedok ideologis model pemberitaan "belah bambu" media Indonesia. J. Sumardianta, pustakawan tinggal di Yogyakarta

Tidak ada komentar: