Minggu, 13 Januari 2008

Resensi Buku Al Ghazali, Suara pembaruan, 20 Februari 2003

SUARA PEMBARUAN, 20 Februari 2003
Sahabat dalam Ketaatan kepada Allah
Judul buku:
Metode Menaklukkan Jiwa-Perspektif Sufistik
(Disciplining the Soul-Breaking the Two Desire)
Penulis:
Al-Ghazali
Penerjemah:
Rahmani Astuti
Penerbit:
Mizan-Bandung, 2002
Tebal:
344 halaman
Para pemikir Islam politik (fiqh siyasah) tidak pernah jera mengingatkan umat Islam, khususnya para ulama dan penguasa muslim, akan bahaya kekuasaan dan politik. Imam Al-Ghazali pernah menyatakan bahwa politik adalah lahw dan la'b, permainan memabukkan yang bisa membuat orang lupa daratan. Kekuasaan dalam nalar fiqh siyasah bersumber pada hawa nafsu yang sulit dikendalikan.
Al-Ghazali (1058-1111 M) dengan ketajaman analisis seorang filsuf dan kedalaman penghayatan seorang sufi mengetengahkan keluhuran akhlak secara panjang lebar dalam karya monumental paling prestisius Ihya' Ulum Al-Din. Pemikir terbesar etika politik Islam itu, saat membahas sistem dan kelembagaan politik, sangat menekankan akhlak, moral, dan etika. Soalnya, keluhuran akhlak merupakan tolok ukur pencapaian kemanusiaan dalam Islam.
Buku ini hasil terjemahan edisi Inggris dari dua bab Ihya' Ulum Al-Din yang menjadi ciri khas ajaran etika Al-Ghazali. Bagian pertama membahas diagnosis dan terapi katarak spiritual (akhlak buruk seperti licik, batil, zalim, dan dusta) yang menghalangi mata batin manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Bagian kedua secara khusus mencermati dua penyakit mental manusia paling berbahaya: sifat rakus dan hawa nafsu yang tidak terkendali.
Tasawuf acap dimaknai sebagai aspek ajaran Islam yang paling memberi aksentuasi pada kesucian rohani manusia. Al-Ghazali, dalam pandangan Fazlur Rahman, berpengaruh besar bagi dunia Islam karena mampu membangun kembali ortodoksi Islam dengan menjadikan sufisme sebagai bagian integral kehidupan kaum Muslim.
Kontribusi Al-Ghazali paling istimewa bagi Islam terletak pada teknologi spiritual buat pendisiplinan jiwa terutama melalui ibadah puasa.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah tidak pernah membuat baik paras dan akhlak seseorang hanya untuk membiarkannya dimangsa api neraka" dan "Sebaik-baiknya mukmin adalah yang paling baik akhlaknya" (halaman 77).
Sabda Kanjeng Nabi yang dielaborasi Al-Ghazali di bagian pertama buku ini sangat kontekstual dan relevan dengan praksis keberagamaan umat di Indonesia dewasa ini.
Kebangkitan Islam di Tanah Air agaknya belum mampu membendung arus besar "atheisme" berwajah hedonisme, pragmatisme, sekularisme, dan materialisme.
Hedonisme adalah kecenderungan orang untuk hidup mewah tanpa mau kerja keras. Pragmatisme adalah perilaku ingin sukses dengan mengandalkan jalan pintas atau mental nerabas. Sekularisme adalah kecenderungan hidup yang semakin larut dan diperdaya kepentingan-kepentingan duniawi, sehingga mengabaikan dimensi spiritual keagamaan. Materialisme adalah gaya hidup egolatri (memuja martabat secara berlebihan) yang melulu diarahkan untuk mendewakan (memberhalakan) harta benda, uang, dan kekuasaan.
Di Indonesia, korupsi berketiak ular sulit diberantas karena hedonisme, pragmatisme, sekularisme, dan materialisme merajalela di lingkungan birokrasi pemerintahan dari akar rumput hingga lembaga-lembaga tinggi kenegaraan. Mengapa? Pemahaman dan penghayatan keagamaan berhenti pada simbol normatif dan praktik ritualisme.
Agama telah disapih dari dimensi spiritual. Praksis keberagamaan telah mengabaikan etika. Jiwa-jiwa manusia jadi tidak disiplin sehingga gampang ditelikung berbagai "atheisme" pragmatis di atas.
Metode pendisiplinan diri melalui ibadah puasa belum berhasil mengikis akhlak buruk yang daya rusaknya sangat masif dan berskala luas. Negeri ini terjerumus zaman laknat penuh kutukan (jahiliyah) karena, meminjam perspektif sufisme Al-Ghazali, mewarisi mental kepemimpinan zalim, munafik, culas, batil, serakah, rakus, dan gelojoh. Elite politik belum mengindahkan petuah Rasulullah SAW, "pemerintah bisa tetap hidup kendati tidak beriman tetapi akan hancur bila tidak adil."
Para koruptor berwajah ulama memang menelikung agama sebagai sarana pemuas nafsu kepentingan mereka. Agama yang dijadikan penjaga tatanan pendukung status quo lebih berbahaya ketimbang kebrutalan tentara paling fasis.
Benar, kata Al-Ghazali, keutamaan Islam terhalang katarak spiritual pemeluknya sendiri. Penghayatan keagamaan artifisial karena digerus hedonisme, pragmatisme, sekularisme, dan materialisme terus berpeluang besar memperdaya umat.
Teknologi pendisiplinan jiwa yang dikembangkan Imam Al-Ghazali, dalam buku ini, tidak ditujukan buat mengebiri hasrat-hasrat alamiah manusia akan kuasa, harta, maupun kehormatan keduniawian lainnya melainkan membawa pada keseimbangan yang memungkinkan orang beriman meraih masa depan lebih baik dengan mengubah perilaku buruk tidak terpuji melalui gerakan asketik.
Imam Al-Ghazali adalah preseden bagus keberagamaan secara radikal. Ia ikhlas meninggalkan segala jabatan dan gemerlapnya pesona duniawi untuk hidup melulu seturut kehendak Ilahi dengan membaktikan diri sepenuhnya sebagai seorang sufi.
Keteladanan yang bisa ditimba dari masterpiece sang Hujjatul-Islam ini: Hanya jika elite politik, menyantuni kejujuran, ketulusan, ugahari, kesederhanaan, kerendahan hati, dan kebajikan serta berani hidup susah ala Imam Al-Ghazali maka bangsa Indonesia akan terbebas dari lembah kebinasaan.
J SUMARDIANTA
Last modified: 20/2/2003

Tidak ada komentar: