Selasa, 08 Januari 2008

Artikel TEROKA KOMPAS, Sabtu, 22 Juli 2006

Artikel Teroka KOMPAS, Sabtu, 22 Juli 2006
Burung Gagak dan Hasrat Berkorban
J. Sumardianta
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup di atas garis petaka. Rakyat Aceh diterjang tsunami. Warga Yogya, Bantul, Sleman, dan Klaten dirajam gempa tektonik. Penduduk Sidoarjo lintang pukang digelontor semburan lumpur bercampur gas. Masyarakat Sinjai dan Gorontalo di Sulawesi disapu banjir bandang. Terakhir, pantai selatan Jawa pun terkena sapuan tsunami.
Bencana silih berganti mempertontonkan betapa tidak siapnya negeri ini menangani gebalau alam dahsyat. Ungkapan lama mengatakan, ular kobra biasanya memagut dua kali. Malapetaka senantiasa memukul beruntun.
Tidak ada bencana yang berdiri sendiri. Kendati demikian, bencana alam mesti dibaca juga sebagai warta apokaliptik. Bukan untuk meramalkan kehancuran melainkan ajakan bangkit dari reruntuhan. Penderitaan, kematian, dan kehancuran tampak bergandengan tangan dengan belas kasih dan harapan.
Pak Sipon Adisumarto (50 th) bukti nyata ketegaran menaklukkan kesulitan dan ketabahan manusia menghadapi tragedi. Pak Sipon teladan bagaimana manusia belajar, dalam situasi paling kelam dan kurang manusiawi masih bisa menyalakan optimisme. Kakek warga Dusun Sumber Kidul, Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, itu selesai menguburkan anak perempuan dan cucunya yang meninggal tertimpa reruntuhan rumah, langsung bergotong-royong membereskan puing-puing bangunan yang membelasah di sekujur dusun.
Pengabdian demi kebaikan
Buruh ladang tebu ini benar-benar tak terpatahkan. Pak Sipon miskin dan sederhana. Namun penderitaan panjang dan ekstrem telah menggembleng dia menjadi manusia kuat dan luar biasa.
Pak Sipon mengajarkan keteladanan hidup perihal ngeduwungi sipat umuk lan atosing ati (menyesali perangai congkak dan bebal hati). Dusun Sumber Kidul memancarkan daya hidup dan kegembiraan justru dari kepapaan Pak Sipon yang begitu rupa. Ketabahan Pak Sipon membuktikan pengabdian demi kebaikan yang lebih besar.
Kecamatan Berbah merupakan wilayah Kabupaten Sleman yang paling parah dihajar bencana. Wilayah ini berada di kawasan sesar (patahan kulit bumi) Kali Opak. Gerakan liar sesar Opak itulah yang meluluhlantakkan Desa Kalitirto, Tegaltirto, Jogotirto, dan Sendangtirto. Berbah, kendati dekat dengan Bandara Adisucipto dan jalan provinsi ke arah Solo dan Surabaya, nyaris terisolasi total mengingat seluruh fokus perhatian tercurah ke Kabupaten Bantul dan Klaten.
Saptono, siswa kelas III SMA, warga Dusun Karang Wetan, Desa Tegaltirto, tidak mau terkungkung dalam sangkar keterpencilan. Walau rumahnya rata tanah, Saptono merelakan diri jadi tenaga relawan untuk desanya. Dia salah satu tulang punggung Komite Gotong Royong Berbah yang dipercaya mendata kebutuhan korban, mencari sumbangan ke donatur, dan mendistribusikan bantuan ke warga dusun yang sangat memerlukan uluran tangan.
Demi bantuan tepat sasaran, Saptono berani bersitegang dengan siapa pun. Dia memotong jalur distribusi posko, langsung menyalurkan bantuan dengan pendekatan individual. Berkat orang-orang seperti Saptono, bantuan itu tidak menumpuk tapi langsung dibagikan ke titik-titik tepat sasaran.
Komite memiliki relawan penghubung yang berasal dari dan mengakar kuat di pedusunan. Komite itu diberi nama Gotong Royong karena semangat gotong-royong memang modal sosial masyarakat Berbah jauh sebelum kawasan ini dirajam malapetaka.
Anggota komite bekerja seperti kesetanan karena menemukan uang receh terbungkus amplop surat di tumpukan pakaian bekas. Uang itu berasal dari tabungan seorang anak kecil yang bersama pakaian pantas pakai miliknya disumbangkan kepada komite. Pemberian dari seorang bocah sehabis-habisnya inilah yang melipatgandakan energi komite untuk terus tandang grayang (bekerja keras tanpa kenal lelah) membantu masyarakat yang sedang dirundung nestapa.
"Belum pernah hidupku begitu bernilai dan bermakna seperti saat ini," ujar Saptono.
Sebagai relawan yang adalah korban, Saptono mendapatkan jendela rohani baru untuk memandang penderitaan. Pada diri Saptono tidak terdapat fatalisme dan sikap menyerah. Dari mulutnya tidak pernah terdengar keluh kesah dan pemberontakan. Di balik tubuh kerempeng dan wajahnya yang tirus terdapat naluri kepemimpinan alamiah. Dia telah mengambil manfaat dari kemalangan.
Pemuda lulusan SMA 2006, diterima di Jurusan Biologi, FMIPA-UGM, tapi terancam putus sekolah ini bagaikan kembang api telah memijarkan cahaya pengharapan bagi para warga desanya. Pada usia belia, Saptono mengajarkan ketangguhan spiritual dalam hal kaprasajan (kebersahajaan), sabar ing manah (kesabaran hati), dan nampi lakon ingkang prihatin (menerima dengan ikhlas dan mengalir kenyataan hidup memprihatinkan).
Beras sedang ditampi
Koyo gabah diinteri. Gempa bumi memperlakukan korban layaknya beras sedang diayak dan ditampi. Bencana sungguh menapis mana emas dan mana yang sekadar loyang.
Doni dan Kevin salah dua di antara manusia berhati emas. Dua pemuda, pengelola Djendelo Kafe Yogyakarta, sehari-harinya telanjur dicap sebagai manusia bermoral bejat sulit diperbaiki. Hidup mereka seperti tidak bisa lepas dari minuman keras. Tapi mereka minum wedang galak sesungguhnya untuk berbagi kebahagiaan dan cinta.
Air kejujuranlah yang membuat mereka jadi manusia otentik dan peka terhadap sesama. Persis seperti yang dikatakan Alexis Sorbas, filsuf jalanan Yunani, "Orang yang bisa menyanyi dan menari dengan seluruh ketidaksadarannya karena terendam anggur berarti telah mengalami pembebasan."
Kevin dan Doni menyulap Djendelo Kafe, sejak hari pertama bencana, menjadi posko tempat belasan relawan mangkal. Pontang-panting mereka menggalang dukungan logistik dan dana dari segala penjuru dermawan. Djendelo menyalurkan bantuan logistik ke Kecamatan Pundong, Pleret, Imogiri, dan nun di pelosok Dlingo Bantul. Operasional posko ditomboki dengan dana pribadi. Keduanya seperti tidak punya urat takut saat larut malam harus menembus barikade penjarah dan perompak yang bergentayangan di sepanjang jalan karena teringat wajah tegar perempuan dusun yang meminta kiriman bantuan bumbu pawon.
Doni dan Kevin, dua ikon Pangoentji (Paguyuban Ngoenjuk Tjiu), komunitas para peminum di Yogyakarta, bahagia hidupnya bermakna. Tokoh-tokoh Pangoetji yang lain dengan cara mereka masing-masing juga mengerahkan seluruh survival and existensial need guna meringankan beban masyarakat yang dilanda kesulitan. Kiprah mereka persis seperti menjalankan amanat kuno dari Timur Tengah; barang siapa menyelamatkan satu nyawa dia telah menyelamatkan seluruh dunia.
Sepotong parodi jelas tampak anggun di tengah segala bercak kesengsaraan dan kemalangan. Orang masih memiliki stok humor untuk bisa menertawakan hidup. "Ada posko. Tanya, kenapa?" Parodi iklan rokok ini ditorehkan dengan cat semprot pada sebuah papan yang disandarkan di belakang mobil ringsek di jalan lingkar Karangkajen, Yogyakarta. Mungkin lelucon itu hendak menertawakan keberadaan posko yang terdiaspora di mana-mana hingga menimbulkan kesulitan distribusi bantuan karena posisinya yang tidak terkonsentrasi di suatu kawasan mudah jangkauan.
Rabindranath Tagore, pujangga besar India, pernah berujar, "Anda diundang untuk menertawakan kesia-siaan hidup ini dan hidup Anda akan penuh berkah". Di daerah Segeroyoso, Plered, Bantul, ada korban yang berperilaku eksentrik menampilkan humor tingkat tinggi. Ia memacak meja panjang dipinggir jalan raya. Dia atas meja itu ia menawarkan seluruh koleksi daya tariknya: aneka perkakas rumah tangga ringsek seperti kulkas, jam dinding, dan sepeda. Di dekatnya tergantung papan menggelayut di ranting pohon bertuliskan "For Sale. Barang Barang Antik Warisan Gempa".
Tertawa menjadi semacam biduk tempat orang Plered itu berpegangan tatkala hidupnya diguncang disorientasi. Hanya di tempat di mana orang hidup berdekatan dengan kematian yang bisa melantunkan banyak teladan tentang solidaritas, cinta, dan harapan. Bencana telah mendidik manusia agar tidak terjerumus dalam kesia-siaan sebuah dunia yang sia-sia, yang berlumuran kemunafikan, hipokrisi, dan tipu muslihat.
Bencana seolah membenarkan kebajikan Kuan Tzu, Bapak Taoisme: "Jika saat berpulang tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja untuk berbaring selamanya". Derajat (kedudukan), pangkat (kekuasaan), dan semat (prestise) tidak ada artinya lagi.
Ini peringatan buat manusia yang menjelma burung gagak pemakan bangkai, tikus, ular, dan kalajengking yang berkaok-kaok dan berkeriapan memperdagangkan kemarahan alam dengan mengatasnamakan aids politics maupun aids industry.
J SumardiantaGuru SMA Kolese de Britto Yogyakarta, Kordinator Komite Gotong-Royong Berbah, Sleman
Kompas, Sabtu 22 Juli 2006 - kolom Humaniora

Tidak ada komentar: