Jumat, 17 Agustus 2012

Kolom KORAN TEMPO, Sabtu, 14 Juli 2012


Mewujudkan Spirit Corporate Mystic

Oleh: J. Sumardianta*


Suatu malam, seorang pria sepuh menggandeng istrinya, memasuki lobi hotel kelas melati, di Philadelphia, Amerika. "Semua hotel besar di kota ini telah terisi penuh. Bisakah Anda menyediakan satu kamar saja buat kami?" ujar pria itu menjeritkan harap.

"Kamar kami telah dipesan jauh hari. Ada tiga perhelatan besar digelar bersamaan di kota ini. Tapi saya tidak tega membiarkan pasangan sebaik Anda tampias kehujanan di jalanan pada dini hari. Maukah Anda berdua menginap di apartemen saya?" jawab resepsionis. Orang tua itu mengangguk.

Keesokan harinya, saat pamitan, bapak tua berterima kasih pada penolongnya. "Anda seharusnya menjadi pemimpin hotel terbaik di Amerika. Anda bekerja dengan keinginan kuat untuk mengabdi. Kelak saya mungkin bisa membangun hotel untuk Anda."

Pegawai hotel murah yang hati itu tersenyum. Melupakan kata-kata si pria tua. Dan, kembali pada rutinitas melayani para tamu lain.

Dua tahun kemudian datang sepucuk surat undangan disertai tiket terbang ke New York. Di metropolis terbesar di dunia itu, pak tua, mengajak tamunya ke sudut jalan antara Fifth Evenue Thirty-Fourth Street. Dia menunjukkan bangunan baru luar biasa megah. "Itu hotel yang saya janjikan dua tahun lalu. Mulailah Anda kelola sekarang." George Charles Bold, si karyawan hotel melati, menerima tawaran Mr William Waldorf Astor.

Kisah Tuan Astor menemukan karyawan berjiwa melayani inspirasi mencerahkan perihal corporate mystic. George Charles Bold tipikal pekerja yang bisa berdamai dengan diri sendiri (sabar, syukur, bersahaja), berdamai dengan sesama (memberi, mengasihi, memaafkan), dan berdamai dengan Tuhan (berserah).

George Charles Bold menemukan Tuhan bukan saat berdoa dan beribadah. Tuhan tidak diluhurkan dengan laku asketik keras ala para pengembara sufi melainkan di perusahaan tempatnya bekerja.

Semangat merupakan masalah paling penting di tempat kerja bukan soal strategi dan taktik. Rendahnya semangat dan produktivitas kerja itu masalah paradigma bukan masalah perilaku. Paradigma itu sebab, perilaku akibat.

Arvan Pradiansyah, dalam I Love Monday (2012), menyebutkan tiga paradigma dalam bekerja dan berbisnis. Paradigma pertama berorientasi job. Sutradaranya pimpinan atau owner. Karyawan tersiksa karena menjalankan skenario, mimpi, kemauan, dan masa depan orang lain. Motivasi penggeraknya jangka pendek: apa yang akan saya peroleh? Paradigma ini dianut sebagian besar kaum profesional maupun pekerja terampil.

Tujuan bekerja semata demi menafkahi keluarga dan bertahan hidup. Konsekuensinya orang harus bekerja keras dan mengabaikan kesehatan. Mereka membayar pendapatan yang tidak seberapa dengan pengorbanan waktu dan perasaan yang menyiksa lahir batin. Tabungan tidak pernah mencukupi. Penghasilan selalu kalah bersaing melawan beaya hidup dan inflasi.

Mereka seperti robot karena mengacu model get the job done (GJD) – sekadar menjalani rutinitas kerja monoton. Populasi kelompok GJD, berdasarkan laporan American Society for Training and Development (ASTD), sebesar 54 persen.

Di kantor, penganut GJD hanya senang pada saat gajian. Selebihnya, cenderung menghindari masalah ketimbang menyelesaikannya. Bekerja sudah tentu tidak menggembirakan. Senyum mereka saat menyambut pelanggan hanyalah senyum SOP (standard operating procedure). Cara mereka menangani keluhan pelanggan menunjukkan tidak adanya rasa tanggung jawab.

Penganut GJD berfokus pada diri sendiri. Langgam mereka pesimistic explanatory style. Sekadar meluangkan waktu bukan mencurahkan energi, perhatian, dan passion. Fisik di kantor tapi pikiran bergentayangan di mana-mana. GJD membuat perasaan pekerja tidak nyaman. Mereka terpaksa bertahan dalam pekerjaan membosankan yang merendahkan harga diri dan tidak sesuai dengan minat serta keahlian.

Sebesar 17 persen populasi GJD, menurut laporan ASTD, amat membenci pekerjaan. Mereka suka menyebarkan virus prasangka dan keresahan. Suasana kerja jadi mirip neraka. Mereka menderita karena gagal memaknai dan menemukan indahnya pekerjaan.

Paradigma kedua berorientasi pada karier. Skenario disusun para pemburu karier itu sendiri. Motivasi penggerak: bagaimana cara memperolehnya? Pekerjaan adalah sarana bertumbuh. Karier membuat orang sukses memperoleh uang, pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman. Tujuan bekerja penganut paradigma kedua ini memang kesuksesan.

Paradigma pertama dan kedua, secra keseluruhan populasinya 71 persen, tujuannya memperoleh (getting). Paradigma ketiga mencakup 29 persen populasi, fokusnya memberi (giving). Paradigma ketiga memperlakukan pekerjaan sebagai panggilan (vocation). Bekerja merupakan sarana melayani orang lain buat mencapai tingkat kemanusiaan tertinggi. Skenarionya, finding God in all things. Meluhurkan Tuhan di tempat kerja.

Paradigma ketiga disebut confirm satisfaction (CS). Mindset telah bergeser dari berfokus pada diri sendiri (bekerja demi gaji dan karier) menjadi lebih altruistik – mengabdi Tuhan dengan melayani sesama. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Pamrih mereka sedikit. Lebih banyak berkarya nyata.

Pekerjaan yang sama selalu dilakukan karyawan dengan cara berbeda. Ukuran keberhasilan bukan apa yang sudah dikerjakan melainkan apakah pelanggan sudah puas terlayani. Motivasi yang menggerakkan penganut CS: mengapa saya mesti mengerjakannya?

Manfaat terbesar yang diberikan pekerjaan adalah harga diri. Orang menjadi penting karena mementingkan orang lain. Makna pekerjaan ditemukan karena karyawan mampu melihat dengan sudut pandang orang lain. Orang yang memberi banyak melebihi yang dia terima (give more expectless). Bukan sekadar transaksional give more expect more. Mereka bukan manusia tidak tahu diri yang motivasinya giveless expect more.

Paradigma CS amat visioner. Karyawan memiliki spirit, perasaan positif, relasi bagus, dan terhubung dengan yang dikerjakan. Langgam mereka optimistic explanatory style. Badan dan pikiran menyatu di tempat kerja. Pekerjaan baru selesai ketika hasilnya sudah dinikmati pelanggan.

Semakin tinggi kesulitan yang bisa diatasi, semakin banyak keahlian yang diperoleh, semakin tinggi nilai jual, dan semakin solid identitasnya seseorang sebagai profesional. Hasilnya uang, kesuksesan, kebahagian, kepuasan batin, perasaan bermakna, kompetensi dan intelektual, jaringan relasi sekaligus.

Inilah hukum besi yang tidak bisa dihindari. Mementingkan orang lain merupakan rahasia bisnis mendasar sepanjang masa. Semua jenis pekerjaan esensinya pelayanan, substansinya pengabdian. Mereka yang mengingkari hukum alamiah itulah yang setiap hari Senin dilanda kecemasan dan depresi. Mereka sorai pada hari Jumat, menjelang libur akhir pekan. Mereka inilah yang senantiasa membuat macet jalan di daerah Puncak. Mereka, saat long weekend tiba, seperti kesetanan, lintang pukang meninggalkan Jakarta.

Kebahagiaan itu kepenuhan makna. Kesengsaraan itu krisis makna. Bahagia atau sengsara itu lebih ditentukan kemauan dan kemampuan memaknai pekerjaan. Perubahan paradigma dalam memandang pekerjaan bisa mengubah beban jadi sumber kebahagiaan.

Harus diakui, bekerja untuk melayani masih terdengar aneh bagi sebagian besar profesional. Ada yang menganggap munafik. Bahkan ada yang menuduh kamuflase supaya pekerjaan lebih kelihatan elegan.

Problem terbesar perusahaan despiritisasi kelembagaan. Bisnis pada dasarnya rawa tempat buaya besar melakukan segala penipuan dan eksploitasi demi mengenyangkan perut pemiliknya sendiri.

Spirit corporate mystic, baru bisa diwujudkan bila budaya korporasi serakah yang mendewakan keuntungan jangka pendek diubah. Kegigihan memupuk laba mesti bersinergi dengan hasrat untuk hidup bermakna. Kejayaan material diimbangi kedewasan spiritual. Dedikasi menaklukkan egoisme. Kepedulian menggantikan sikap masa bodoh.

*J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta. Penulis Simply Amazing (2009) & Editor Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (2011).

Mengapa Lelaki Harus Disunat?


Tatkala Burung Tanpa Kepala  
Oleh: J. Sumardianta*
Kisah Darman Gondo, dalang seangkatan Ki Narto Sabdo almarhum, sewaktu disunat sangat menggelikan. Almarhum Darman Gondo kelahiran Klaten, saat remaja ikut pamannya yang bermukim Sragen. Sunat pada zamannya tampak masih primitif bila dinilai berdasarkan ukuran medis zaman sekarang. Orang disunat tidak menggunakan pisau, gunting, atau laser melainkan sembilu terbuat dari batok kura-kura. Jangankan obat bius, perbanpun belum tersedia.
Darman Gondo setiap siang harus menjemur burungnya yang bengkak bernanah sehabis dipotong di atas rel kereta api yang melintas di desanya. Dengan alas daun pisang muda yang ditaruh di rel, Darman Gondo melakukan terapi buat memeras nanah yang membuat bagian bawah pusarnya senut-senut setiap hari. Infeksi akibat luka sayatan juga membuat Darman Gondo demam. Jangan harap ada obat penurun panas. Apalagi antibiotik pembunuh virus atau bakteri penyebab infeksi. Luka sunat bagi lelaki pedasaan seperti Darman Gondo sungguh menyiksa lahir batin selama berbulan-bulan.
Sesudah dijemur di atas rel beralas daun pisang muda, tubuh Darman Gondo terasa agak mendingan. Demam berangsur turun. Rasa nyeri bercampur senut-senut berkurang. Itu karena nanah yang membuat burung Darman Gondo bengkak sedikit demi sedikit diserap daun pisang. Suhu tinggi rel kereta api yang terjerang matahari membuat daun pisang bekerja efektif. Daun pisang itu sebelum dibuang bentuknya tampak mengerikan. Tidak perlu diceritakan di sini bagaimana bentuk dan baunya karena bisa memadamkan selera makan siang pembaca.
Getah pohon pisang memiliki khasiat menyembuhkan luka sayat. Di desa-desa, bahkan hingga sekarang, bila ada tukang kayu atau penyabit rumput mengalami luka tebas parang atau sabit, pasti memotong tunas pisang buat dioleskan di bagian tubuh yang tergores. Begitulah pertolongan pertama orang desa mengatasi trauma akibat luka sayat. Terapi cairan getah yang ada di selembar daun pisang setiap hari itulah yang menyembuhkan Darman Gondo dari infeksi.
Bila luka tubuh agak memar dan dalam biasanya orang desa mencari siput. Olesan lendir siput juga terbukti bisa mencegah infeksi dan tetanus. Mungkin itu sebabnya, masyarakat Kediri dan Blitar sangat gemar menyantap keripik dan sate bekicot. Binatang bercangkang itu turut andil menjaga kesehatan masayarakat di sana. Khasiatnya dalam menyembuhkan pelbagai penyakit sesudah pembedahan tak perlu diragukan lagi. Bekicot sampai harus didatangkan dari daerah lain seperti Bondowoso, Jember, dan Lumajang.
Bagi sebagian orang desa trauma sunat memang menyeramkan. Seorang kawan tetangga desa bahkan tidak berani pulang ke rumah setiap orang tuanya menyelenggarakan pesta hajatan---penikahan, aqiqah, dan syukuran kelahiran bayi. Dia selalu punya alasan kuat untuk tidak pulang. Takut kalau-kalau nanti ia disunat. Sudah menjadi kebiasaan orang desa menyelenggarakan acara rangkap dalam saru hajatan. Sunatan anak bungsu diboncengkan pada pesta nikah anak pertama. Biar ringkes, hemat, dan tak terlalu ribet masalah tenaga dan beaya.
Kawan tadi itu, saking traumanya, selalu beranggapan bahwa setiap kali rumahnya punya hajatan, pasti akan menyunatkan dia. Dia memilih kabur dari rumah. Sampai suatu ketika keluarganya heboh. Anak itu ditemukan nyaris tewas kehabisan darah di tengah kebun saat menggembalakan kambing. Keluarganya curiga sudah hampir maghrib, kok, kambing-kambingnya belum juga digiring ke kandang. Dia menyunat sendiri burungnya dengan sabit. Dia, rupanya, malu sampai dewasa “kulit melinjonya“ belum kunjung dikelupas juga.
Masih soal tetangga kampung. Ada kawan yang sampai harus disunat tiga kali. Selesai sunat pertama kulit melinjonya tumbuh lagi. Disunat kedua kali tumbuh lagi. Baru pada kelupasan ketiga melinjonya tak mengeluarkan jengger lagi. Ha, ha, ha.
Saya sendiri punya pengalaman tidak nyaman saat menjalani ritual sunatan. Saya disunat bareng adik kandung lelaki pada liburan panjang sehabis lulus SD. Itu terjadi di akhir tahun 70-an. Saya bisa merasakan penderitaan yang dialami dalang Darman Gondo. Kami disunat nyaris tanpa pesta. Tetangga juga tidak ada yang diberi tahu. Yang kami berdua tahu, kalau mau disunat, beberapa hari sebelumnya, bapak belanja sarung dan baju baru. Bapak nyewa becak buat mengantar kami ke rumah Juru Supit di desa sebelah.
Kami disuruh berbaring di tempat tidur. Tiba-tiba kres. Dua hari kemudian sekujur badan njarem semua. Kami juga susah berjalan. Tiap siang hari, sepanjang hampir satu bulan, kami seperti Darman Gondo, harus menjemur burung kami yang lagi merana di bawah sengatan terik matahari. Suatu hari pernah kami mendapat malu besar. Saat lagi asyik-asyiknya menjalani terapi matahari ada rombongan mbak-mbak melintas pulang sekolah. Amboi. Kami tidak sadar kalau ada orang hendak melintas. Kami tidak cukup sigap kembali menutup aurat dengan sarung. Mereka pating cekikik menahan tawa. Rupanya mereka baru saja melihat alat peraga anatomi tubuh dalam arti sesungguhnya. Biasanya mereka belajar ilmu faal, kan, dari buku, gambar, dan alat peraga di laboratorium bilogi.
Pengalaman paling tragis sunatan pernah menimpa 26 lelaki dari Bandung di tahun 80-an. Mereka menggugat Juru Supit. Saat menggugat rata-rata usia mereka 25 tahun. Para penggugat sudah lulus sarjana, dan tengah bersiap membangun mahliga rumah tangga. Mereka disunat oleh Juru Supit yang sama pada usia balita. Kultur masyarakat Sunda memang menyunatkan anak saat balita. Para penggugat disunat pertengahan tahun 60-an. Usia Juru Sunat sudah hampir 70 tahun.
Sidang pengadilan, saat gugatan diajukan, gaduh penuh gelak tawa hadirin. Pihak tergugat diwakili anak-anak Juru Supit. Juru Supitnya sendiri sudah lama meninggal. Pihak tergugat bingung: kesalahan orang tua, kok, anak-anak mesti tanggung? Juru Supit dianggap lalai karena menyebabkan burung para penggugat cacat seumur hidup. Karena sudah wafat, keteledoran ditimpakan pada ajli warisnya.
Kepala burung penggugat ikut terpangkas saat disunat. Para penggugat malu “burung mereka tanpa kepala” padahal pesta perikahan sudah dekat. Ada yang sudah membetulkan piranti vitalitas mereka dengan silikon. Tapi mereka galau, silikon bisa lepas ketika tengah keras bekerja  menafkahi istri. Ibarat mengelupasi kulit melinjo, biji terdalamnya ikut kepangkas karena mata Juru Supit sudah rabun. Apalagi buah melinjo dikelupasi kulitnya saat masih kecil-kecil dan amat muda.
Sunatan sesungguhnya simbol kekerasan. Sunat itu inisiasi yang menandai proses seorang lelaki memasuki dunia spartan yang keras dan macho. Proses inisiasi, apapun ritualnya, di manapun, dan kapanpun selalu identik dengan derita yang menyiksa lahir batin.
Piranti seks itu sendiri sebenarnya asal-usul kekerasan. Ini tampak dalam ritus menstruasi yang dialami perempuan dewasa setiap bulan. Juga ditemukan dalam pertumpahan darah yang menandai syisah payahnya proses melahirkan yang mengandung risiko kematian bayi, ibu---atau keduanya. Maka sunat mengandung ajaran pengendalian diri.
Dalam khasanah budaya Jawa dikenal falsafah nutupi babahan hawa sanga. Menutupi sembilan lubang pada permukaan kulit lelaki: mata, hidung, mulut, telinga, tetek, pusar, kelamin, pori-pori, dan dubur. Lubang perempuan berjumlah sepuluh karena salurin urin terpisah dari lubang sanggama. Sembilan atau sepuluh lubang itu bila diumbar menjadi sumber hawa nafsu---asal muasal segala kenikmatan yang ternikmat. Dan, yang namanya hedonisme selalu mendatangkan bencana, kesialan, dan mara bahaya. Segala kenikmatan memang melenakan sekaligus menyenangkan.
Sebaliknya babahan hawa sanga bila dikendalikan menjadi sumber kebahagiaan. Sudah menjadi hukum besi: jalan kebahagiaan rutenya terjal, mendaki, penuh godaan, dan onak duri. Penyakit degeneratif mematikan seperti kanker dan strokeberry  timbul karena manusia modern tidak bisa mengendalikan lidah dan asupan yang masuk ke mulutnya. Kejayaan artis, politisi, dan pemuka masayarakat tiba-tiba amblas karena video mesum mereka beredar luas di internet. Mereka melupakan pesan etis salah satu judul novel Jenar Maesa Ayu: Jangan Main-Main dengan Kelaminmu.   
Sunat menyengsarakan tapi membahagiakan. Lelaki, dengan dionceki melinjonya, dilatih untuk disiplin mengendalikan diri. Esensi sunatan itu latihan hidup tabah agar tahan uji.***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Kolomnis dan peresensi buku. Penulis buku Simply Amazing(2009) dan editor buku Tapal Batas (2011). twitter: @jsumardianta. fb: johannes sumardianta

Kisah Mengharukan Pemudik Bersepeda Motor


Esai Lebaran 1433 H
Kupat Luwar Pasukan Semut
Oleh: J. Sumardianta*
Seorang raja menawarkan hadiah besar bagi seniman yang bisa memenangi sayembara melukis kedamaian di atas kanvas. Banyak perupa ikut sayembara. Dua seniman masuk nominasi juara. Lukisan pertama menggambarkan danau teduh. Pantulan sempurna bagi pegunungan tenang yang menjulang di sekelilingnya. Semua orang mengira lukisan itulah yang bakal memenangi tropi.
Lukisan kedua menggambarkan pegunungan tandus gersang. Langit tampak sedang murka di atasnya. Hujan tumpah. Petir mengamuk tiada henti. Di lereng yang curam terdapat air terjun berbusa-busa. Semak belukar tumbuh di balik air terjun, di antara retakan batu karang. Seekor induk burung belibis sedang menyelesaikan sarang di sana. Di tengah-tengah gejolak amarah air, induk belibis betengger di sarangnya dalam ketenangan nyaris sempurna.
Raja memilih lukisan kedua. "Kedamaian bukan berarti berada di suatu tempat yang bersih dari bahaya, sepi dari ancaman, atau terbebas dari tuntutan disiplin kerja, ujarnya." Kedamaian maknanya ketika hati Anda tidak ciut kendati berada di tengah kesulitan dan tantangan.
          Metafora burung belibis membangun sarang di tempat berbahaya amat kena dipakai buat menjelaskan hasrat para pemudik kembali ke desa mereka menjelang Hari Raya Idul Fitri. Lik Tarno (36) dan Yu Warti (33) bagaikan perupa yang memenangi sayembara raja. Pasangan suami istri ini memboncengkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil dengan sepeda motor mudik dari Bogor ke Kulon Progo. Berangkat subuh sampai di desa Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, DIY hampir subuh. Mereka tampak lusuh, penat, dan tampias kejujanan sesudah menempuh perjalanan berat dan panjang melewati Puncak, Cianjur, Bandung, Tasik Malaya, Ciamis, Banyumas, Kebumen, dan Purworejo.
            Tarno dan Warti, salah satu dari jutaan “pasukan semut’, julukan polisi buat para pemudik sepeda motor, yang meninggalkan kota-kota besar di Jawa buat pulang kampung di hari lebaran. Mereka mudik menggunakan sepeda motor karena lebih praktis, murah, dan langsung sampai ke tujuan. Tarno kapok mudik berjubel di dalam bus bumel atau kereta ekonomi. Sampai di terminal atau stasiun tujuan masih harus pating greweng (ribet) gonta-ganti angkutan untuk sampai desanya. Belum lagi perasaaan terhina dilangkahi sesama penumpang atau pedagang asongan saat berdesak-desakan di lantai kereta yang tumpat pedat pemudik.
            Tarno menyadari mudik bersepeda motor berbahaya dan berisiko tinggi. Miris juga, katanya, tiap kali mendapati sepeda motor sesama pemudik bergelimpangan dan tumpah bersama seluruh muatannya di jalan raya karena pengendaranya teledor, tergopoh, atau mengantuk. Ia, saat mulai diserang perasaan kemrungsung dan cenderung ngebut memilih ngaso di SPBU atau masjid. Tak heran, dengan kecepatan rata-rata 50-70 Km/jam, ia memerlukan waktu tempuh 22 jam.
Beginila doa yang dipanjatkan Tarno setiap kali hendak memulai perjalanan: Gusti kula nyuwun slamet lahir batin. Tinebihna kula sak kaluargi saking bebaya saha pengapesan Tuhan aku memohon keselamatan jiwa raga. Jauhkanlah kami sekeluarga dari mara bahaya dan kesialan. Ia amat menikmati perjalanan. Rute yang terjal, berkelok, mendaki, dan penuh onak duri justru memicu adrenalinnya. Kuncinya fokus dan konsentrasi.
Tarno dan keluarganya setiap tahun nekat membelah Jawa bagian selatan dengan sepeda motor. Tarno merindukan suasana riuh rendah berkumpul dengan keluarga besarnya. Amboi. Lidahnya terlalu cerdas buat melupakan aroma khas kuah gulai ayam masakan simboknya yang disiramkan di atas ketupat rajangan. Aroma gulai itu bagaikan panggilan suara simbok yang menggema terus tiada henti di bulan Ramadhan.
Ketupat memang punya kenangan tersendiri bagi Tarno. Puasa itu menjalankan perintah agama. Belah ketupat sepulang shalat Ied itu tradisi sehabis menjalankan ibadah puasa. Di masa remaja ia pernah mendapat tauziah dari mendiang kakeknya perihal ketupat yang selalu dihidangkan bersama opor dan sambal krecek di hari lebaran. Ketupat matang yang keras dan dingin sesungguhya lambang hati manusia yang cenderung kaku dan egois. Bungkus ketupat yang terbuat dari janur berwarna kuning kehijauan mengambarkan fitrah manusia yang senantiasa harus memperbaharui dan meremajakan diri dengan saling memberi maaf. Permaafan bersama memberidan mengasihi merupakan tiga jalan menuju kebahagiaan dengan cara berdamai dengan orang lain.
Orang Jawa menyebut ketupat dengan ungkapan kupat luwar. Kupat merupakan simbol pembebasan dari belenggu masa lalu. Disajikan dengan cara dibelah memakai pisau tajam sebagai simbol ngluwari---pembersihan dari khilaf dan dosa. Kuah opor atau gulai yang diguyurkan di atas ketupat melambangkan semangat untuk memadamkan amarah, nafsu, iri, dan dengki.
Tradisi halal bihalal masih terasa kental di kampung halaman Tarno. Permaafan melepaskan Tarno dari belenggu kesalahan masa lalu dan menyadari bahwa yang menjadi tawanan masa lalu tidak lain dirinya sendiri. Permaafan yang membuatnya kembali kuat mengarungi hidup di jaman edan ini. Pertama-tama Tarno memaafkan diri sendiri. Agar perasaan malu dan penyangkalan diri tidak terlalu berat untuk dipikul. Ia juga memaafkan orang lain atas peran mereka dalam membuat kecewa dan sedih.
Tujuan hidup Tarno bukan untuk memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus berkembang dan tumbuh. Selain berdamai dengan orang lain, Tarno berusaha berdamai dengan diri sendiri: ia berusaha senantiasa sabar, bersyukur, dan bersahaja. Shalat Ied di Lapangan, bagi Tarno, merupakan puncak dari hasrat baktinya kepada Sang Khalik. Tarno berusaha pasrah, sumarah, dan berdamai dengan Tuhan 
Begitulah pergulatan para pemudik membangun sarang kebahagiaan. Fitrah manusia itu niente senza gioia. Manusia selalu mengusahakan hari-harinya bergelimang kegembiraan. Kendati kegembiraan, meminjam istilah Ranggawarsita, harus diperjuangkan di tengah ganasnya hukum rimba jaman tega---kala tida. ***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta, penulis Simply Amazing (2009) & Editor Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (2011).

Senin, 02 Juni 2008

Info Lomba Resensi Untuk Guru Jateng- DIY

LOMBA RESENSI BUKU
LUSTRUM XII SMA KOLESE DE BRITTO
YOGYAKARTA 2008

A. Peserta:

Guru TK, SD, SMP, MTs, SMA, dan MA di wilayah Jateng dan DIY (kecuali guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta)

B. Buku:

1.Khaled Hossaini, A Thousand Splendid Suns, Qanita, Bandung, 2008
2.Murakami, Tuhan dalam DNA, Mizan, Bandung, 2007
3.Andi Yudha, Cara Pintar Mendongeng, DAR Mizan, Bandung, 2007
4.Baskara T. Wardaya, Indonesia Melawan Amerika, Galang Press, Yogyakarta, 2008
5.Bambang Prakosa, Menjadi Kaya, Sukses, dan Sehat dengan Kekuatan Pikiran, Galang Press, Yogyakarta, 2008
6.Tim Redaksi Bio Pustaka, Soeharto di Mata Kawan dan Lawan, 2008
7.Hendri F. Isnaeni dan Apid, Romusha Sejarah yang Terlupakan, Ombak, Yogyakarta, 2008
10.Max Lucado, 3: 16 Angka Pengharapan, Gloria, Yogyakarta, 2008
11.Max Lucado, Facing Your Giants, Gloria, Yogyakarta, 2008
12.Indra Ismawan, Langkah awal Buka usaha, Media Pressindo, Yogyakarta, 2008.


C. Persyaratan:

1.Resensi diketik pada kertas kuarto, spasi satu setengah, maksimum 10.000 (sepuluh ribu) karakter, jenis huruf Tahoma fontasi 11.
2.Resensi dibuat rangkap 3 (tiga), dilampiri foto kopi sampul buku, dan foto kopi KTP.
3.Naskah dimasukkan ke dalam amplop tertutup dikirim langsung atau via jasa kurir ke: J. Sumardianta & Kingkin Teja Angkasa Panitia Lomba Resensi Buku Lustrum XII SMA Kolese de Britto Jl. Laksda Adisucipto 161 Yogyakarta
4.Batas waktu pengiriman: naskah sudah harus diterima panitia paling lambat Rabu, 25 Juni 2008
5.Peserta menyertakan nama, sekolah asal, alamat sekolah atau rumah, dan nomor telepon atau mobile phone untuk kemudahan komunikasi


D. Aspek-Aspek Penilaian:
1. Penguasaan dan keterbacaan isi buku
2. Kemampuan mengkomunikasikan ide
3. kemampuan berbahasa secara tertulis
E. Pengumuman Pemenang dan Penyerahan Hadiah:

1.Para pemenang lomba resensi akan diberitahu panitia lewat surat dan telepon Rabu, 9 Juli 2008
2.Hadiah untuk para pemenang akan diserahkan pada malam puncak peringatan lustrum Sabtu, 23 Agustus 2008

F. Hadiah:
1. Juara 1: Rp. 1.000.000,- dan sertifikat
2. Juara 2: Rp. 750.000,- dan sertifikat
3. Juara 3: RP. 500.000,- dan sertifikat

*Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

Jumat, 09 Mei 2008

Visi Keteladanan Yesus

JAWA POS Minggu, 30 Maret 2008
Visi Keteladanan Yesus

Judul buku : Yesus; Biografi Lengkap tentang Pribadi-Nya, Negara-Nya, dan Bangsa-Nya Penulis : Leith Anderson Penerjemah: Ida Budipranoto dan Ony Suryawan Penerbit : Gloria Graffa, Jogjakarta Cetakan : Pertama, Januari 2008 Tebal : 428 Halaman
’’Uang tunai kami yang ada di dalam plastik. Dimuliakanlah arloji Cartier-Mu. Datanglah tas Prada-Mu. Jadilah Christian Dior dan Giorgio Armani-Mu. Berilah kami setiap hari Visa Platinum. Dan, ampunilah segala keberlebihan kami. Seperti kami pun mengampuni yang menolak MasterCard kami. Jangan keluarkan kami dari ketajiran. Tetapi bebaskan kami dari segala kekurangan. Demi Chanel nomor 5 dan Eternity. Amek.’’
Sajak di atas sesungguhnya parodi doa ’’Bapa Kami’’. Parodi itu ditemukan di buku Robert Holden, Timesless Wisdom for a Manic Society (2005). Parodi berjudul ’’The IT Girl Prayer’’ --tidak jelas siapa penggubahnya-- sebenarnya kritik buat masyarakat zaman sekarang yang sangat memuja berhala kekayaan material. Kegandrungan brutal masyarakat yang berakar pada mekanisme cinta akan uang sebagaimana dilembagakan kapitalisme neo-liberal.
Doa ’’Bapa Kami’’ yang diajarkan Yesus tidak hendak menjadikan manusia budak ambisi kekayaan, kekuasaan, dan uang. Yesus mengajarkan sikap hidup sak madyo, ugahari, dan tidak serakah. Agar manusia menjadi gampang bersyukur dan tetap bisa menemukan keberuntungan di tengah kemalangan. Pendeknya, tidak terjerumus ke dalam perangkap siklus materialisme abadi. Manusia tidak akan pernah puas dengan memiliki kapal pesiar, rumah megah, dan perlengkapan hidup branded mewah. Tidak ada kantong saku di kain kafan penguburan. Teologi harus mengandung pengertian harapan di tengah budaya kematian dan kemurungan kalbu akibat kedosaan manusia. Inilah salah satu warta keselamatan Yesus sebagaimana memuncak dalam peristiwa Paskah. Warta apokaliptik Paskah (bangkit dari kehancuran) ini mesti dikemukakan mengingat makin hari manusia makin dicekik atmosfer hidup yang sangat tidak berperikemanusiaan akibat kesontoloyoan aparat negara dan kehancuran lingkungan. Buku biografi Yesus ini memberikan gambaran sosok Yesus yang komprehensif sejak lahir hingga wafat di kayu salib berdasarkan empat kisah Injil Perjanjian Baru: Mateus, Markus, Lukas, dan Yohanes. Leith Andorson, penulisnya, pendeta Gereja Wooddale, Minnesota, Amerika Serikat, mengisahkan Yesus berdasarkan latar belakang masyarakat, sejarah, politik, dan budaya pada zamannya. Ada kecenderungan lazim Yesus dijadikan ikonoklastik.
Konsep-konsep abstrak teologis telah menggantikan pengalaman kesejarahan tentang Yesus dari Nasareth. Kebanyakan refleksi tentang salib Yesus bercorak romantik melulu. Fokus perhatian pada Kristus sebagai korban silih atas dosa-dosa manusia. Pemahaman mengenai penebusan berhenti pada pengakuan laba kisah sengsara Yesus. Manusia bermoral bejat sulit diperbaiki pun akan diselamatkan Yesus. (*)
*J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta

Minggu, 10 Februari 2008

Esei Sastra tentang Novelis Sindhunata

Esei Sastra Jawa Pos, Minggu, 10 Februari 2008
Oleh: J. Sumardianta

Sindhunata boleh disebut sebagai puncak kecerdasan berbahasa. Sastrawan kelahiran Batu, sejak awal dekade 80-an bermukim di Jogjakarta itu, memang "Man of Letters". Penulis yang total dan setia membaktikan hidupnya bertekun di semak belukar makna huruf-huruf. Sindhunata dikenal luas sebagai wartawan, filsuf, novelis, penyair, pelopor jurnalisme sastrawi, penulis feature sepak bola, dan kurator senirupa. Ia menjalani karir sebagai penulis dalam kerangka hidup mistik. Kepengarangan dihayatinya sebagai wujud konkret intimitas cinta mendalam pada sang Khalik.Menanti Ratu Adil - Motif Eskatologis Protes Petani Jawa Abad 19 dan Awal Abad 20 adalah naskah buku terbaru yang sedang ia terjemahkan dari disertasi hasil ngangsu kaweruh (menimba ilmu) di Universitas Munchen, Jerman pada 1986-1992. Disertasi Hoffen auf den Ratu Adil itu merupakan tafsiran baru kajian gerakan protes petani yang sebelumnya dirintis sejarawan almarhum Sartono Kartodirdjo dan almarhum Onghokham. Karya terbaru ini perlu disebut, kecuali karena citra Sindhunata telanjur lekat dengan novel klasik Anak Bajang Menggiring Angin, disertasi itu ditulisnya dengan gaya bertutur prosaik layaknya menulis feature.Putri Cina, novel Sindhunata paling gres, terbit Oktober dan cetak ulang Desember 2007, dinobatkan komunitas sastra Bandung "Nalar" sebagai karya sastra paling bermutu. Putri Cina merupakan figurasi tragika nasib kaum minoritas Tionghoa Indonesia. Novel rumit dengan segerobak tokoh ini menggunakan teknik bercerita maju mundur. Sindhunata mengambil seting cerita dari zaman Majapahit era Brawijaya hingga pengujung Orde Baru, melumuri novelnya dengan babad, legenda, mitos, dan sejarah sekaligus.Para penguasa Jawa mengincar rahim perempuan peranakan Tionghoa. Raden Patah, raja Demak anak Brawijaya, lahir dari kandungan seorang ibu peranakan Tionghoa. Begitu tulis Sindhunata.Putri Cina sesungguhnya by product buku Kambing Hitam: Teori Rene Girard (2006). Novel ini semula katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis untuk pameran lukisan Putri Cina karya Hari Budiono di Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Jogjakarta, Mei 2006. Hari Budiono, perupa kelahiran Mojokerto, bekerja di Bentara Budaya Yogyakarta, mendapat inspirasi setelah membaca draft Kambing Hitam. Hari Budiono memang konsultan artistik untuk buku-buku Sindhunata.Rene Girard, guru besar emeritus antropologi Universitas Stanford, California, AS, yang dikaji Sindhunata dalam Kambing Hitam mengalami pertobatan intelektual setelah mempelajari novel-novel klasik karya lima pengarang masyur abad ke-18: Miguel de Cervante, Gustave Flaubert, Stendhal, Marcel Proust, dan Fyodor Dostojevsky. Kecemburuan, kebencian, iri, dan kedengkian sosial merajalela karena dalam kehidupan masyarakat bertahta mimesis (hasrat tiru-meniru tiada berkesudahan). Mimesis mencetuskan lingkaran setan rivalitas. Rivalitas yang meletus menjadi kekerasan memerlukan kambing hitam untuk memulihkan harmoni sosial. Mekanisme kambing hitam itu senantiasa membidik dan mengejar kaum minoritas etnis, ras, dan religius. Minoritas adalah segmen masyarakat yang ditakdirkan sebagai korban. Inilah simpulan teori kekerasan Rene Girard yang dikelupasi Sindhunata dari kulit terluar sampai biji terdalam.Sindhunata sendiri mengalami pertobatan profetik pada saat belajar di Jerman. Ia peranakan Tionghoa berwajah Jawa. Ia telanjur apriori terhadap komunitas Tionghoa di Jerman. Di Indonesia ia hampir jarang bersentuhan dengan kaumnya. Aktivitasnya lebih tercurah untuk orang Jawa dengan segala persoalan sosio-kulturalnya.Wajah yang "menipu" ini membuat Sindhunata mengalami krisis identitas. Ia terasing total di negeri orang. Guncangan eksistensial itu mendorongnya menekuni novel-novel bertema Auf der Suche nach einer Heimat (para pencari tanah leluhur) karya pengarang imigran Yahudi. Kaum pelarian itu saking trauma dengan holocaust kerap menyembunyikan identitas rombeng mereka, bahkan di ruang pengakuan dosa saat bertatap muka dengan pastor.Sindhunata sadar: ia sulit menerima identitas kecinaannya karena tidak bisa menerima ketidakadilan yang ditimpakan kepada kaumnya. Menanggung karma sejarah kambing hitam sangat merisaukan. Krisis itu akhirnya mereda. Di Jerman ia menemukan kembali identitasnya yang sekian lama ditelan wajah yang cenderung menipu diri sendiri maupun sesama. Perjuangan membebaskan diri dari karma pala itu bukanlah perlawanan sosial melainkan pergulatan batin individual. Penderitaan telah memurnikan dirinya hingga menjadi jujur terhadap diri sendiri maupun kaumnya.Istilah "Cina" memang sangat menyakitkan bagi kaum Tionghoa. Justru karena tidak mau terjerumus kembali dalam mekanisme tipu-menipu, eskapisme, dan eufemisme Sindhunata bersikeras dengan identitas "(ke)Cina(an)"-nya. Kosa kata Tionghoa atau China menurutnya melulu pelarian dan permanisan dari realitas sosial yang berlumuran kekerasan, ketidakadilan, pengejaran, labelling, dan stigmatisasi. Penyempurnaan sarana dan pengaburan substansi memang karakteristik mendasar zaman sekarang. Itu sebabnya, kendati mendapat reaksi keras di mana-mana, Sindhunata mempertahankan judul novelnya dan tidak mau mengganti, misalnya, dengan judul Putri China atau Putri Tionghoa.Sindhunata terbebas dari tirani tuduh-menuduh dengan spiral prasangka etnis makin menanjak karena berkepribadian bukan pendendam. Karakter pemaaf melepaskan dia dari belenggu kecublukan masa lalu dan membuatnya kembali kuat. Ia memaafkan keterbatasannya sendiri sehingga perasaan malu dan menyalahkan diri tidak terlalu berat ditanggung. Ia memaafkan juga orang lain atas peran mereka dalam menghadirkan kekecewaan dan kesedihan. Tujuan hidupnya bukanlah untuk memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus tumbuh.Sindhunata, setiap berpaling ke masa lalu, senantiasa teringat Sioe Lien, gadis kecil teman bermain di tahun 50-an. Sioe Lien selalu tertawa riang saat bermain di sungai yang membelah kampung Hendrik, Batu, Malang. Sindhunata tidak tahu, mengapa tiba-tiba Sioe Lien harus pulang ke RRT bersama keluarga. Banyak peti-peti besar disiapkan menjelang kepergiannya. Baru kelak setelah dewasa, Sindhunata tahu keluarga Sioe Lien terkena PP 10/1959 tentang Dwi-Kewarganegaraan. Setiap teringat Sioe Lien, Sindhunata tergoda melihat arti dan indahnya kesunyian. Sindhunata pun jadi tahu makna Tionghoa kelahiran Jawa.Percik gerimis kaki kanak-kanakmu/ dingin bermain di sungai kesendirianmu. Itulah bait puisi yang dipersembahkan Sindhunata untuk Sioe Lien di antologi puisi Air Kata Kata (2004).Tokoh sentral novel Putri Cina, Giok Tien, istri Gurdo Paksi, sesungguhnya alter ego Koo Soen Ling, ibu kandung Sindhunata sendiri. Giok Tien dan Gurdo Paksi mati dibunuh Joyo Sumenggah, panglima Medang Kamulan, dalam krisis politik berujung pembersihan etnis. Dua sejoli beda etnis itu muksa menjadi sepasang kupu-kupu, persis legenda Sam Pek dan Eng Tay. Ketika Sindhunata masih belia, ibunya gemar mendongeng tentang Sam Pek dan Eng Tay. Kisah tua Tiongkok zaman antik perihal cinta manusia yang tidak kesampaian. Ibunya senantiasa terharu setiap mengisahkan sepasang kekasih tak direstui orang tua karena perbedaan status sosial.Perjalanan spiritual Giok Tien ditemani Korsinah ke Gunung Kawi tidak lain kunjungan Sindhunata menemani ibunya berziarah ke makam guru kebajikan Eyang Djoego (Taw Low She) dan Eyang Imam Soedjono (Djie Low She) di Malang Selatan. Peziarahan Putri Cina ke pelbagai kelenteng dan makam kuno di Tuban sebenarnya perjalanan Sindhunata mengantar ibunya berziarah ke makam kakeknya di pantai utara Jawa. Menemukan makam Puteri Cempa secara kebetulan saat Putri Cina dalam proses cetak adalah rahmat terselubung yang didapat sang novelis yang kesasar ketika mencari makan malam di Lasem.Koo Soen Ling menjanda sejak muda ditinggal mati Liem Swie Bie, suaminya. Ia membesarkan tujuh anaknya dengan bekerja sebagai penjahit. "Bimbang di Hati" adalah lagu kesukaan Koo Soen Ling. Lagu mengesan itu tanpa sengaja didengarnya dari pengamen jalanan sewaktu pergi ke Surabaya. Rombongan Orkes Keroncong Sinar Pangoentji dari Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, pun mendendangkan, "Kurasa bimbang di hati, meninggalkan kau pergi, juwita," di dekat peti jenazah Koo Soen Ling, saat disemayamkan di Kampung Hendrik, Batu, Malang, Oktober 2006. Lagu itu bertutur tentang seorang suami yang berat hati hendak bepergian mencari nafkah dengan meninggalkan keluarga. Anak-anak lalu diserahkan kepada istri untuk dirawat sampai suami pulang nanti. Sang istri pun sukses membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang.***Karya sastra merupakan sarana yang bisa membantu manusia terhubung secara lebih sadar dengan intelegensia abadi dalam hati. Sastra menggeser hadirin dari kepala ke nurani mereka, beranjak dari logika menuju waskita, melampaui persepsi menuju visi, dan mengatasi keduniawian menjadi kesejatian.Karya sastra bisa dirunut kembali ke sumbernya. Sebuah karya sastra, tanpa kecuali novel Putri Cina, terpaut dengan pengalaman hidup, identitas, falsafah, maupun perasaan-perasaan pengarangnya. Pengarang menyatakan diri dan mengomunikasikan pengalaman hidupnya secara mendalam. Sindhunata setali tiga uang Pramoedya Ananta Toer. Roman sejarah Pramoedya menjadi sangat memikat dan indah ketika bertutur mengenai tokoh-tokoh perempuan seperti Gadis Pantai atau Nyai Ontosoroh. Heroisme dalam roman sejarah Pramoedya selalu berkibar di tangan perempuan karena ia sangat dekat dengan ibu dan neneknya.Perempuan di tangan Sindhunata adalah representasi kehendak bebas. Pembaca pun sering dibikin cemburu pada kepiawaian Sindhunata mengisahkan tokoh simbok-simbok dalam buku Mata Air Bulan (1998). Kegandrungan Sindhunata pada tokoh-tokoh perempuan acap disalah-mengerti sebagai efek samping hidup melajang. Padahal, yang benar, karena ia sangat mengidolakan ibunya.Tapi, Sindhunata tidak mau menanggung sesal berlarat begitu ibunya wafat. Ungkapan bijak yang mengatakan bahwa mistikus menjadi mashyur karena sangat mencintai ibunya menemukan kebenaran dalam karya-karya Sindhunata.***
J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta
* Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi 10 Februari 2008

Jumat, 25 Januari 2008

Resensi Buku Good Busines KOMPAS Minggu, 20 Januari 2008

Resensi Buku KOMPAS Minggu, 20 Januari 2008
Spirit Adiluhung Kampiun Bisnis
Judul buku: Good Business: Bisnis Sebagai Jalan Kebahagiaan
Judul asli: Good Business: Leadership, Flow, and the Making of Meaning
Penulis: Mihaly Csikszentmihalyi
Penerjemah: Helmi Mustofa
Penerbit: Mizan- Bandung, 2007Tebal: ix + 375 halaman

Inilah aforisma Ludwig Wittgenstein, filsuf Jerman, "Jika yang engkaumiliki hanyalah palu maka segalanya akan tampak seperti paku." Jikaparadigma bisnis mengejar keuntungan melulu maka segala sesuatunyadijalankan demi memuaskan kerakusan para pemegang sahamnya semata. Bisnismemang telah meningkatkan kualitas hidup manusia. Institusi inimenciptakan kemajuan di bidang teknologi, pendidikan, komunikasi dankesehatan. Kendati demikian entitas pembawa kemakmuran dan kesejahteraanmaterial itu juga menimbulkan persoalan-persoalan serius.Wabah perselingkuhan kekuasaan dengan pemilik modal yang membalak hutansecara liar di seantero Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papuamerupakan paradoks bisnis yang harus ditebus demi membayar kemajuan.Pemanasan global penyebab curah hujan sangat tinggi, banjir bandang,puting beliung, bukit longsor, dan gelombang pasang air laut makinmenjadikan Indonesia negeri yang tak putus dirundung bencana alam.Bencana alam mempertontonkan betapa budaya kapitalis dan praktik bisnisyang beroperasi di dalamnya didera komplikasi akut. Bisnis yang mengejarkeuntungan demi keuntungan itu sendiri (the pursuit of profit for its ownsake ) dengan menempatkan konsumsi sebagai tujuan tertinggi tidakvisioner. Bisnis global adalah monster yang sedang mengganyang dirisendiri. Monster itu menghancurkan sumber daya alam, mengabaikan generasimendatang, menyebabkan kakalutan masal, melahirkan kepemimpinan egoistik,menyulut kerusuhan dan terorisme.Bisnis terlalu berkiblat pada para predator sosial semacam Genghis Khan,Attila Hun, dan Niccolo Machiavelli. Kebanyakan buku bisnis mendidik kaumprofesional menjalani hidup dengan mengikuti kompas moral yang tidakakurat. Nah, buku Good Business merupakan publikasi penelitian perihalpara pemimpin bisnis yang memadukan prestasi tinggi dengan perilakuterbimbing visi dan nilai (vision and values led). Para pemimpin pengabdi( servant leaders) yang ikut bertanggung jawab atas kelangsungan duniatempat mereka meraih keberhasilan. Proyek peneiltian ini dipimpin MihalyCsikzentmihaly, guru besar psikologi Universitas Chicago, AS, penemukonsep flow (perasaan mengalir dan bahagia).39 Kampiun bisnis yang dirujuk pada buku ini adalah para pemimpinvisioner. Mereka adalah para "kesatria" atau "master" yang menciptakanbudaya baru perusahaan dan mempraktikkannya di lingkungan korporasimereka. Sektor bisnis yang dijadikan sampel: piranti lunak dan keraskomputer, manufaktur, ritel, bioteknologi, hiburan, real estate, modalventura, konsultasi manajemen, industri minyak, aerospace, pertambangan,restoran wara laba, investasi finansial, pendidikan, desain produk, jasa,dan transportasi.Para pemimpin bisnis, menurut Mihaly Csikzentmihaly, merupakan segmenmasyarakat paling berpengaruh. Segmen tersebut tidak hanya mengendalikanarus segala sumber daya, dari makanan hingga minyak, pun memilikikekuasaan tidak proporsional tentang bagaimana dan oleh siapa negaradijalankan. Kepentingan-kepentingan bisnis mendorong AS mengintervensinegara-negara lain. Perlindungan atas perkebunan pisang di Amerika Latinpun ladang minyak di Kuwait.Para kampiun bisnis dan perusahaan yang mereka representasikan,sebagaimana dilaporkan Mihaly Csikzentmihaly, memiliki komitmen moral dankepedulian kuat. Mereka melengkapi diri dengan dedikasi jangka panjangpada tujuan-tujuan yang mendahulukan kepentingan masyarakat, orang-orangyang hidup di tengah masyarakat, dan manusia pada umumnya.Yvon Chouinard, pendiri Patagonia pada dekade 60-an merintis pekerjaansebagai pandai besi keliling yang cinta mati pada pegunungan. Ia membuatperlengkapan mendaki gunung, seperti pasak dan gelang, lebih baikdibanding yang dihasilkan perajin lain. Bisnisnya berkembang pesat. Olahraga mendaki makin populer. Dinding batu yang menakjubkan pun dipenuhilubang dan bercak goresan perangkat keras. Chouinard tak mau meruntuhkangunung yang dicintainya. Ia ciptakan cara baru mendaki menggunakanroda-gigi ( gear) yang ditempatkan dan digeser di celah-celah perbukitanagar pegunungan tetap utuh.Chouinard akhirnya mengubah haluan Patagonia dari produsen piranti keraske bisnis garmen demi tidak merusak gunung. Di industri pakaian jadi punperlahan ia menyadari bahwa kapas yang menjadi tumpuan bahan dasarpabriknya menyerap 25 persen pestisida dunia. Diperlukan dua galon residupestisida untuk membuat satu kaus berbahan katun. Chouinard menghadapikrisis hati nurani saat mengunjungi perkebunan salah satu pemasok kapas.Ia tidak lantas menutup pabriknya. Patagonia, kendati meningkatkan beayaproduksi, beralih ke serat organik yang ramah lingkungan. Nike, Gap, danLevi Strauss pun mengikuti langkah Patagonia.Patagonia bermarkas di Ventura, distrik sepi di California. Di lorongmasuk terdapat barisan papan selancar disandarkan para karyawan didinding. Saat ombak besar datang semua karyawan boleh berselancar kapanpunmereka mau. Buku Yvon Chouinard, Let My People Go Surfing, melukiskankebijakan Patagonia yang mengombinasikan kerja dengan rekreasi.Pada permulaan abad ke-20, di kota kecil Columbus, Indianapolis, seorangbankir mendirikan pabrik mesin diesel. Selama dua puluh tahun investasipabrik itu belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Belakangan, kondisimulai meningkat, dan mesin diesel buatan Cummins menghela banyak truk yangmenjelajahi benua Amerika. Bisnis Cummins tidak pernah berjalan mulus.Hampir tiap tahun dihantam krisis baru---meningkatnya produk pesaing,krisis keuangan, embargo minyak, dan standar baru emisi gasbuangan---mengancam kelayakan perusahaan. Keluarga Cummins harus merogohkocek keluarga dalam-dalam, setiap kali pasar meninggalkannya dan membuatrentan diambil alih, guna melindungi otonomi keluarga."Alasan kami tetap menekuni bisnis ini, papar J. Irwin Miller salahseorang anggota generasi ketiga Cummins, karena kami punya kewajibanterhadap masyarakat. Kami bisa saja pindah ke tempat yang punya tenagakerja lebih murah. Namun, apalah artinya mengeruk keuntungan lebih banyakjika Anda harus menelantarkan ribuan orang yang Anda kenal dan menaruhkepercayaan pada Anda." Cummins punya hubungan mesra dengan wargaColumbus. Perakit mesin diesel ini bersedia mengeluarkan biaya konstruksisetiap warga membutuhkan gereja, perpustakaan, sekolah, pos pemadamkebakaran, dan penjara. Perusahaan keluarga ini tidak akan bertahan sampaiumur seratus tahun bila sekedar didorong semangat profit dan ekspansi.Korporasi yang dikaji dalam buku ini, Patagonia, McDonald, The Body Shop,Apple, Microsoft, Lockheed Martin, Cummins, AOL Time Warner, dan Financialinvestment, menjadi mercu suar yang menuntun kapitalisme melepaskanbelenggu keserakahan, kecurangan, dan penipuan. Mihaly Csikzentmihalymenemukan lima karakteristik kepemimpinan bisnis visioner. Pertama,optimisme tanpa batas berdasarkan keterpanggilan mewujudkan kehidupan yanglebih bernilai dan bermakna. Kedua, integritas dalam arti keteguhanmemegang prinsip sebagai dasar untuk percaya dan mempercayai. Ketiga,ambisius yang tekun dalam kesulitan dan tabah mengatasi tantangan.Keempat, rasa ingin tahu dan semangat belajar pantang menyerah. Kelima,empati (bela rasa) mendalam terhadap orang lain.Kusut masai penanganan bencana lumpur Lapindo Brantas yang menenggelamkanmasyarakat Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, karut marut ilegal logging diJambi, dan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri merupakan presedenburuk bisnis. Bisnis tidak akan berhasil mempertahankan hegemoninya dalamkontrak sosial implisit dengan masyarakat jika terbukti pasar hanyamenjadi sarana bagi sedikit orang mendapatkan keuntungan dan tidak memberikontribusi bagi kebahagiaan banyak orang.Good Businessmerekomendasikan kapitalisme yang memelihara planet bumi, memperbaharuisumber daya alam, menyantuni generasi mendatang sebagai stake holder,berkelanjutan, menyuburkan kepemimpinan visioner, menumbuhkan dedikasi danharapan. Bisnis, satu-satunya institusi, yang memiliki supremasi palingbesar untuk mengubah skenario kapitalisme sebagaimana lazimnya (business-as-usual) menjadi kapitalisme yang mungkin terwujud(business-as-it-could-be). Buku ini mata air inspirasi yang tak bakalkering buat menyelamatkan bangsa Indonesia dari jurang kenestapaan akibatperilaku pemimpin bisnisnya yang sontoloyo dalam menghancurkan lingkungan.****
*J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Yogyakarta.