Esei Sastra Jawa Pos, Minggu, 10 Februari 2008
Oleh: J. Sumardianta
Sindhunata boleh disebut sebagai puncak kecerdasan berbahasa. Sastrawan kelahiran Batu, sejak awal dekade 80-an bermukim di Jogjakarta itu, memang "Man of Letters". Penulis yang total dan setia membaktikan hidupnya bertekun di semak belukar makna huruf-huruf. Sindhunata dikenal luas sebagai wartawan, filsuf, novelis, penyair, pelopor jurnalisme sastrawi, penulis feature sepak bola, dan kurator senirupa. Ia menjalani karir sebagai penulis dalam kerangka hidup mistik. Kepengarangan dihayatinya sebagai wujud konkret intimitas cinta mendalam pada sang Khalik.Menanti Ratu Adil - Motif Eskatologis Protes Petani Jawa Abad 19 dan Awal Abad 20 adalah naskah buku terbaru yang sedang ia terjemahkan dari disertasi hasil ngangsu kaweruh (menimba ilmu) di Universitas Munchen, Jerman pada 1986-1992. Disertasi Hoffen auf den Ratu Adil itu merupakan tafsiran baru kajian gerakan protes petani yang sebelumnya dirintis sejarawan almarhum Sartono Kartodirdjo dan almarhum Onghokham. Karya terbaru ini perlu disebut, kecuali karena citra Sindhunata telanjur lekat dengan novel klasik Anak Bajang Menggiring Angin, disertasi itu ditulisnya dengan gaya bertutur prosaik layaknya menulis feature.Putri Cina, novel Sindhunata paling gres, terbit Oktober dan cetak ulang Desember 2007, dinobatkan komunitas sastra Bandung "Nalar" sebagai karya sastra paling bermutu. Putri Cina merupakan figurasi tragika nasib kaum minoritas Tionghoa Indonesia. Novel rumit dengan segerobak tokoh ini menggunakan teknik bercerita maju mundur. Sindhunata mengambil seting cerita dari zaman Majapahit era Brawijaya hingga pengujung Orde Baru, melumuri novelnya dengan babad, legenda, mitos, dan sejarah sekaligus.Para penguasa Jawa mengincar rahim perempuan peranakan Tionghoa. Raden Patah, raja Demak anak Brawijaya, lahir dari kandungan seorang ibu peranakan Tionghoa. Begitu tulis Sindhunata.Putri Cina sesungguhnya by product buku Kambing Hitam: Teori Rene Girard (2006). Novel ini semula katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis untuk pameran lukisan Putri Cina karya Hari Budiono di Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Jogjakarta, Mei 2006. Hari Budiono, perupa kelahiran Mojokerto, bekerja di Bentara Budaya Yogyakarta, mendapat inspirasi setelah membaca draft Kambing Hitam. Hari Budiono memang konsultan artistik untuk buku-buku Sindhunata.Rene Girard, guru besar emeritus antropologi Universitas Stanford, California, AS, yang dikaji Sindhunata dalam Kambing Hitam mengalami pertobatan intelektual setelah mempelajari novel-novel klasik karya lima pengarang masyur abad ke-18: Miguel de Cervante, Gustave Flaubert, Stendhal, Marcel Proust, dan Fyodor Dostojevsky. Kecemburuan, kebencian, iri, dan kedengkian sosial merajalela karena dalam kehidupan masyarakat bertahta mimesis (hasrat tiru-meniru tiada berkesudahan). Mimesis mencetuskan lingkaran setan rivalitas. Rivalitas yang meletus menjadi kekerasan memerlukan kambing hitam untuk memulihkan harmoni sosial. Mekanisme kambing hitam itu senantiasa membidik dan mengejar kaum minoritas etnis, ras, dan religius. Minoritas adalah segmen masyarakat yang ditakdirkan sebagai korban. Inilah simpulan teori kekerasan Rene Girard yang dikelupasi Sindhunata dari kulit terluar sampai biji terdalam.Sindhunata sendiri mengalami pertobatan profetik pada saat belajar di Jerman. Ia peranakan Tionghoa berwajah Jawa. Ia telanjur apriori terhadap komunitas Tionghoa di Jerman. Di Indonesia ia hampir jarang bersentuhan dengan kaumnya. Aktivitasnya lebih tercurah untuk orang Jawa dengan segala persoalan sosio-kulturalnya.Wajah yang "menipu" ini membuat Sindhunata mengalami krisis identitas. Ia terasing total di negeri orang. Guncangan eksistensial itu mendorongnya menekuni novel-novel bertema Auf der Suche nach einer Heimat (para pencari tanah leluhur) karya pengarang imigran Yahudi. Kaum pelarian itu saking trauma dengan holocaust kerap menyembunyikan identitas rombeng mereka, bahkan di ruang pengakuan dosa saat bertatap muka dengan pastor.Sindhunata sadar: ia sulit menerima identitas kecinaannya karena tidak bisa menerima ketidakadilan yang ditimpakan kepada kaumnya. Menanggung karma sejarah kambing hitam sangat merisaukan. Krisis itu akhirnya mereda. Di Jerman ia menemukan kembali identitasnya yang sekian lama ditelan wajah yang cenderung menipu diri sendiri maupun sesama. Perjuangan membebaskan diri dari karma pala itu bukanlah perlawanan sosial melainkan pergulatan batin individual. Penderitaan telah memurnikan dirinya hingga menjadi jujur terhadap diri sendiri maupun kaumnya.Istilah "Cina" memang sangat menyakitkan bagi kaum Tionghoa. Justru karena tidak mau terjerumus kembali dalam mekanisme tipu-menipu, eskapisme, dan eufemisme Sindhunata bersikeras dengan identitas "(ke)Cina(an)"-nya. Kosa kata Tionghoa atau China menurutnya melulu pelarian dan permanisan dari realitas sosial yang berlumuran kekerasan, ketidakadilan, pengejaran, labelling, dan stigmatisasi. Penyempurnaan sarana dan pengaburan substansi memang karakteristik mendasar zaman sekarang. Itu sebabnya, kendati mendapat reaksi keras di mana-mana, Sindhunata mempertahankan judul novelnya dan tidak mau mengganti, misalnya, dengan judul Putri China atau Putri Tionghoa.Sindhunata terbebas dari tirani tuduh-menuduh dengan spiral prasangka etnis makin menanjak karena berkepribadian bukan pendendam. Karakter pemaaf melepaskan dia dari belenggu kecublukan masa lalu dan membuatnya kembali kuat. Ia memaafkan keterbatasannya sendiri sehingga perasaan malu dan menyalahkan diri tidak terlalu berat ditanggung. Ia memaafkan juga orang lain atas peran mereka dalam menghadirkan kekecewaan dan kesedihan. Tujuan hidupnya bukanlah untuk memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus tumbuh.Sindhunata, setiap berpaling ke masa lalu, senantiasa teringat Sioe Lien, gadis kecil teman bermain di tahun 50-an. Sioe Lien selalu tertawa riang saat bermain di sungai yang membelah kampung Hendrik, Batu, Malang. Sindhunata tidak tahu, mengapa tiba-tiba Sioe Lien harus pulang ke RRT bersama keluarga. Banyak peti-peti besar disiapkan menjelang kepergiannya. Baru kelak setelah dewasa, Sindhunata tahu keluarga Sioe Lien terkena PP 10/1959 tentang Dwi-Kewarganegaraan. Setiap teringat Sioe Lien, Sindhunata tergoda melihat arti dan indahnya kesunyian. Sindhunata pun jadi tahu makna Tionghoa kelahiran Jawa.Percik gerimis kaki kanak-kanakmu/ dingin bermain di sungai kesendirianmu. Itulah bait puisi yang dipersembahkan Sindhunata untuk Sioe Lien di antologi puisi Air Kata Kata (2004).Tokoh sentral novel Putri Cina, Giok Tien, istri Gurdo Paksi, sesungguhnya alter ego Koo Soen Ling, ibu kandung Sindhunata sendiri. Giok Tien dan Gurdo Paksi mati dibunuh Joyo Sumenggah, panglima Medang Kamulan, dalam krisis politik berujung pembersihan etnis. Dua sejoli beda etnis itu muksa menjadi sepasang kupu-kupu, persis legenda Sam Pek dan Eng Tay. Ketika Sindhunata masih belia, ibunya gemar mendongeng tentang Sam Pek dan Eng Tay. Kisah tua Tiongkok zaman antik perihal cinta manusia yang tidak kesampaian. Ibunya senantiasa terharu setiap mengisahkan sepasang kekasih tak direstui orang tua karena perbedaan status sosial.Perjalanan spiritual Giok Tien ditemani Korsinah ke Gunung Kawi tidak lain kunjungan Sindhunata menemani ibunya berziarah ke makam guru kebajikan Eyang Djoego (Taw Low She) dan Eyang Imam Soedjono (Djie Low She) di Malang Selatan. Peziarahan Putri Cina ke pelbagai kelenteng dan makam kuno di Tuban sebenarnya perjalanan Sindhunata mengantar ibunya berziarah ke makam kakeknya di pantai utara Jawa. Menemukan makam Puteri Cempa secara kebetulan saat Putri Cina dalam proses cetak adalah rahmat terselubung yang didapat sang novelis yang kesasar ketika mencari makan malam di Lasem.Koo Soen Ling menjanda sejak muda ditinggal mati Liem Swie Bie, suaminya. Ia membesarkan tujuh anaknya dengan bekerja sebagai penjahit. "Bimbang di Hati" adalah lagu kesukaan Koo Soen Ling. Lagu mengesan itu tanpa sengaja didengarnya dari pengamen jalanan sewaktu pergi ke Surabaya. Rombongan Orkes Keroncong Sinar Pangoentji dari Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, pun mendendangkan, "Kurasa bimbang di hati, meninggalkan kau pergi, juwita," di dekat peti jenazah Koo Soen Ling, saat disemayamkan di Kampung Hendrik, Batu, Malang, Oktober 2006. Lagu itu bertutur tentang seorang suami yang berat hati hendak bepergian mencari nafkah dengan meninggalkan keluarga. Anak-anak lalu diserahkan kepada istri untuk dirawat sampai suami pulang nanti. Sang istri pun sukses membesarkan anak-anak dengan penuh kasih sayang.***Karya sastra merupakan sarana yang bisa membantu manusia terhubung secara lebih sadar dengan intelegensia abadi dalam hati. Sastra menggeser hadirin dari kepala ke nurani mereka, beranjak dari logika menuju waskita, melampaui persepsi menuju visi, dan mengatasi keduniawian menjadi kesejatian.Karya sastra bisa dirunut kembali ke sumbernya. Sebuah karya sastra, tanpa kecuali novel Putri Cina, terpaut dengan pengalaman hidup, identitas, falsafah, maupun perasaan-perasaan pengarangnya. Pengarang menyatakan diri dan mengomunikasikan pengalaman hidupnya secara mendalam. Sindhunata setali tiga uang Pramoedya Ananta Toer. Roman sejarah Pramoedya menjadi sangat memikat dan indah ketika bertutur mengenai tokoh-tokoh perempuan seperti Gadis Pantai atau Nyai Ontosoroh. Heroisme dalam roman sejarah Pramoedya selalu berkibar di tangan perempuan karena ia sangat dekat dengan ibu dan neneknya.Perempuan di tangan Sindhunata adalah representasi kehendak bebas. Pembaca pun sering dibikin cemburu pada kepiawaian Sindhunata mengisahkan tokoh simbok-simbok dalam buku Mata Air Bulan (1998). Kegandrungan Sindhunata pada tokoh-tokoh perempuan acap disalah-mengerti sebagai efek samping hidup melajang. Padahal, yang benar, karena ia sangat mengidolakan ibunya.Tapi, Sindhunata tidak mau menanggung sesal berlarat begitu ibunya wafat. Ungkapan bijak yang mengatakan bahwa mistikus menjadi mashyur karena sangat mencintai ibunya menemukan kebenaran dalam karya-karya Sindhunata.***
J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Jogjakarta
* Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi 10 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar