Tatkala Burung Tanpa Kepala
Oleh: J. Sumardianta*
Kisah Darman Gondo, dalang seangkatan Ki Narto Sabdo almarhum, sewaktu disunat sangat menggelikan. Almarhum Darman Gondo kelahiran Klaten, saat remaja ikut pamannya yang bermukim Sragen. Sunat pada zamannya tampak masih primitif bila dinilai berdasarkan ukuran medis zaman sekarang. Orang disunat tidak menggunakan pisau, gunting, atau laser melainkan sembilu terbuat dari batok kura-kura. Jangankan obat bius, perbanpun belum tersedia.
Darman Gondo setiap siang harus menjemur burungnya yang bengkak bernanah sehabis dipotong di atas rel kereta api yang melintas di desanya. Dengan alas daun pisang muda yang ditaruh di rel, Darman Gondo melakukan terapi buat memeras nanah yang membuat bagian bawah pusarnya senut-senut setiap hari. Infeksi akibat luka sayatan juga membuat Darman Gondo demam. Jangan harap ada obat penurun panas. Apalagi antibiotik pembunuh virus atau bakteri penyebab infeksi. Luka sunat bagi lelaki pedasaan seperti Darman Gondo sungguh menyiksa lahir batin selama berbulan-bulan.
Sesudah dijemur di atas rel beralas daun pisang muda, tubuh Darman Gondo terasa agak mendingan. Demam berangsur turun. Rasa nyeri bercampur senut-senut berkurang. Itu karena nanah yang membuat burung Darman Gondo bengkak sedikit demi sedikit diserap daun pisang. Suhu tinggi rel kereta api yang terjerang matahari membuat daun pisang bekerja efektif. Daun pisang itu sebelum dibuang bentuknya tampak mengerikan. Tidak perlu diceritakan di sini bagaimana bentuk dan baunya karena bisa memadamkan selera makan siang pembaca.
Getah pohon pisang memiliki khasiat menyembuhkan luka sayat. Di desa-desa, bahkan hingga sekarang, bila ada tukang kayu atau penyabit rumput mengalami luka tebas parang atau sabit, pasti memotong tunas pisang buat dioleskan di bagian tubuh yang tergores. Begitulah pertolongan pertama orang desa mengatasi trauma akibat luka sayat. Terapi cairan getah yang ada di selembar daun pisang setiap hari itulah yang menyembuhkan Darman Gondo dari infeksi.
Bila luka tubuh agak memar dan dalam biasanya orang desa mencari siput. Olesan lendir siput juga terbukti bisa mencegah infeksi dan tetanus. Mungkin itu sebabnya, masyarakat Kediri dan Blitar sangat gemar menyantap keripik dan sate bekicot. Binatang bercangkang itu turut andil menjaga kesehatan masayarakat di sana. Khasiatnya dalam menyembuhkan pelbagai penyakit sesudah pembedahan tak perlu diragukan lagi. Bekicot sampai harus didatangkan dari daerah lain seperti Bondowoso, Jember, dan Lumajang.
Bagi sebagian orang desa trauma sunat memang menyeramkan. Seorang kawan tetangga desa bahkan tidak berani pulang ke rumah setiap orang tuanya menyelenggarakan pesta hajatan---penikahan, aqiqah, dan syukuran kelahiran bayi. Dia selalu punya alasan kuat untuk tidak pulang. Takut kalau-kalau nanti ia disunat. Sudah menjadi kebiasaan orang desa menyelenggarakan acara rangkap dalam saru hajatan. Sunatan anak bungsu diboncengkan pada pesta nikah anak pertama. Biar ringkes, hemat, dan tak terlalu ribet masalah tenaga dan beaya.
Kawan tadi itu, saking traumanya, selalu beranggapan bahwa setiap kali rumahnya punya hajatan, pasti akan menyunatkan dia. Dia memilih kabur dari rumah. Sampai suatu ketika keluarganya heboh. Anak itu ditemukan nyaris tewas kehabisan darah di tengah kebun saat menggembalakan kambing. Keluarganya curiga sudah hampir maghrib, kok, kambing-kambingnya belum juga digiring ke kandang. Dia menyunat sendiri burungnya dengan sabit. Dia, rupanya, malu sampai dewasa “kulit melinjonya“ belum kunjung dikelupas juga.
Masih soal tetangga kampung. Ada kawan yang sampai harus disunat tiga kali. Selesai sunat pertama kulit melinjonya tumbuh lagi. Disunat kedua kali tumbuh lagi. Baru pada kelupasan ketiga melinjonya tak mengeluarkan jengger lagi. Ha, ha, ha.
Saya sendiri punya pengalaman tidak nyaman saat menjalani ritual sunatan. Saya disunat bareng adik kandung lelaki pada liburan panjang sehabis lulus SD. Itu terjadi di akhir tahun 70-an. Saya bisa merasakan penderitaan yang dialami dalang Darman Gondo. Kami disunat nyaris tanpa pesta. Tetangga juga tidak ada yang diberi tahu. Yang kami berdua tahu, kalau mau disunat, beberapa hari sebelumnya, bapak belanja sarung dan baju baru. Bapak nyewa becak buat mengantar kami ke rumah Juru Supit di desa sebelah.
Kami disuruh berbaring di tempat tidur. Tiba-tiba kres. Dua hari kemudian sekujur badan njarem semua. Kami juga susah berjalan. Tiap siang hari, sepanjang hampir satu bulan, kami seperti Darman Gondo, harus menjemur burung kami yang lagi merana di bawah sengatan terik matahari. Suatu hari pernah kami mendapat malu besar. Saat lagi asyik-asyiknya menjalani terapi matahari ada rombongan mbak-mbak melintas pulang sekolah. Amboi. Kami tidak sadar kalau ada orang hendak melintas. Kami tidak cukup sigap kembali menutup aurat dengan sarung. Mereka pating cekikik menahan tawa. Rupanya mereka baru saja melihat alat peraga anatomi tubuh dalam arti sesungguhnya. Biasanya mereka belajar ilmu faal, kan, dari buku, gambar, dan alat peraga di laboratorium bilogi.
Pengalaman paling tragis sunatan pernah menimpa 26 lelaki dari Bandung di tahun 80-an. Mereka menggugat Juru Supit. Saat menggugat rata-rata usia mereka 25 tahun. Para penggugat sudah lulus sarjana, dan tengah bersiap membangun mahliga rumah tangga. Mereka disunat oleh Juru Supit yang sama pada usia balita. Kultur masyarakat Sunda memang menyunatkan anak saat balita. Para penggugat disunat pertengahan tahun 60-an. Usia Juru Sunat sudah hampir 70 tahun.
Sidang pengadilan, saat gugatan diajukan, gaduh penuh gelak tawa hadirin. Pihak tergugat diwakili anak-anak Juru Supit. Juru Supitnya sendiri sudah lama meninggal. Pihak tergugat bingung: kesalahan orang tua, kok, anak-anak mesti tanggung? Juru Supit dianggap lalai karena menyebabkan burung para penggugat cacat seumur hidup. Karena sudah wafat, keteledoran ditimpakan pada ajli warisnya.
Kepala burung penggugat ikut terpangkas saat disunat. Para penggugat malu “burung mereka tanpa kepala” padahal pesta perikahan sudah dekat. Ada yang sudah membetulkan piranti vitalitas mereka dengan silikon. Tapi mereka galau, silikon bisa lepas ketika tengah keras bekerja menafkahi istri. Ibarat mengelupasi kulit melinjo, biji terdalamnya ikut kepangkas karena mata Juru Supit sudah rabun. Apalagi buah melinjo dikelupasi kulitnya saat masih kecil-kecil dan amat muda.
Sunatan sesungguhnya simbol kekerasan. Sunat itu inisiasi yang menandai proses seorang lelaki memasuki dunia spartan yang keras dan macho. Proses inisiasi, apapun ritualnya, di manapun, dan kapanpun selalu identik dengan derita yang menyiksa lahir batin.
Piranti seks itu sendiri sebenarnya asal-usul kekerasan. Ini tampak dalam ritus menstruasi yang dialami perempuan dewasa setiap bulan. Juga ditemukan dalam pertumpahan darah yang menandai syisah payahnya proses melahirkan yang mengandung risiko kematian bayi, ibu---atau keduanya. Maka sunat mengandung ajaran pengendalian diri.
Dalam khasanah budaya Jawa dikenal falsafah nutupi babahan hawa sanga. Menutupi sembilan lubang pada permukaan kulit lelaki: mata, hidung, mulut, telinga, tetek, pusar, kelamin, pori-pori, dan dubur. Lubang perempuan berjumlah sepuluh karena salurin urin terpisah dari lubang sanggama. Sembilan atau sepuluh lubang itu bila diumbar menjadi sumber hawa nafsu---asal muasal segala kenikmatan yang ternikmat. Dan, yang namanya hedonisme selalu mendatangkan bencana, kesialan, dan mara bahaya. Segala kenikmatan memang melenakan sekaligus menyenangkan.
Sebaliknya babahan hawa sanga bila dikendalikan menjadi sumber kebahagiaan. Sudah menjadi hukum besi: jalan kebahagiaan rutenya terjal, mendaki, penuh godaan, dan onak duri. Penyakit degeneratif mematikan seperti kanker dan strokeberry timbul karena manusia modern tidak bisa mengendalikan lidah dan asupan yang masuk ke mulutnya. Kejayaan artis, politisi, dan pemuka masayarakat tiba-tiba amblas karena video mesum mereka beredar luas di internet. Mereka melupakan pesan etis salah satu judul novel Jenar Maesa Ayu: Jangan Main-Main dengan Kelaminmu.
Sunat menyengsarakan tapi membahagiakan. Lelaki, dengan dionceki melinjonya, dilatih untuk disiplin mengendalikan diri. Esensi sunatan itu latihan hidup tabah agar tahan uji.***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Kolomnis dan peresensi buku. Penulis buku Simply Amazing(2009) dan editor buku Tapal Batas (2011). twitter: @jsumardianta. fb: johannes sumardianta
1 komentar:
Mencengangkan sekali
Posting Komentar