Jumat, 17 Agustus 2012

Kisah Mengharukan Pemudik Bersepeda Motor


Esai Lebaran 1433 H
Kupat Luwar Pasukan Semut
Oleh: J. Sumardianta*
Seorang raja menawarkan hadiah besar bagi seniman yang bisa memenangi sayembara melukis kedamaian di atas kanvas. Banyak perupa ikut sayembara. Dua seniman masuk nominasi juara. Lukisan pertama menggambarkan danau teduh. Pantulan sempurna bagi pegunungan tenang yang menjulang di sekelilingnya. Semua orang mengira lukisan itulah yang bakal memenangi tropi.
Lukisan kedua menggambarkan pegunungan tandus gersang. Langit tampak sedang murka di atasnya. Hujan tumpah. Petir mengamuk tiada henti. Di lereng yang curam terdapat air terjun berbusa-busa. Semak belukar tumbuh di balik air terjun, di antara retakan batu karang. Seekor induk burung belibis sedang menyelesaikan sarang di sana. Di tengah-tengah gejolak amarah air, induk belibis betengger di sarangnya dalam ketenangan nyaris sempurna.
Raja memilih lukisan kedua. "Kedamaian bukan berarti berada di suatu tempat yang bersih dari bahaya, sepi dari ancaman, atau terbebas dari tuntutan disiplin kerja, ujarnya." Kedamaian maknanya ketika hati Anda tidak ciut kendati berada di tengah kesulitan dan tantangan.
          Metafora burung belibis membangun sarang di tempat berbahaya amat kena dipakai buat menjelaskan hasrat para pemudik kembali ke desa mereka menjelang Hari Raya Idul Fitri. Lik Tarno (36) dan Yu Warti (33) bagaikan perupa yang memenangi sayembara raja. Pasangan suami istri ini memboncengkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil dengan sepeda motor mudik dari Bogor ke Kulon Progo. Berangkat subuh sampai di desa Bumirejo, Lendah, Kulon Progo, DIY hampir subuh. Mereka tampak lusuh, penat, dan tampias kejujanan sesudah menempuh perjalanan berat dan panjang melewati Puncak, Cianjur, Bandung, Tasik Malaya, Ciamis, Banyumas, Kebumen, dan Purworejo.
            Tarno dan Warti, salah satu dari jutaan “pasukan semut’, julukan polisi buat para pemudik sepeda motor, yang meninggalkan kota-kota besar di Jawa buat pulang kampung di hari lebaran. Mereka mudik menggunakan sepeda motor karena lebih praktis, murah, dan langsung sampai ke tujuan. Tarno kapok mudik berjubel di dalam bus bumel atau kereta ekonomi. Sampai di terminal atau stasiun tujuan masih harus pating greweng (ribet) gonta-ganti angkutan untuk sampai desanya. Belum lagi perasaaan terhina dilangkahi sesama penumpang atau pedagang asongan saat berdesak-desakan di lantai kereta yang tumpat pedat pemudik.
            Tarno menyadari mudik bersepeda motor berbahaya dan berisiko tinggi. Miris juga, katanya, tiap kali mendapati sepeda motor sesama pemudik bergelimpangan dan tumpah bersama seluruh muatannya di jalan raya karena pengendaranya teledor, tergopoh, atau mengantuk. Ia, saat mulai diserang perasaan kemrungsung dan cenderung ngebut memilih ngaso di SPBU atau masjid. Tak heran, dengan kecepatan rata-rata 50-70 Km/jam, ia memerlukan waktu tempuh 22 jam.
Beginila doa yang dipanjatkan Tarno setiap kali hendak memulai perjalanan: Gusti kula nyuwun slamet lahir batin. Tinebihna kula sak kaluargi saking bebaya saha pengapesan Tuhan aku memohon keselamatan jiwa raga. Jauhkanlah kami sekeluarga dari mara bahaya dan kesialan. Ia amat menikmati perjalanan. Rute yang terjal, berkelok, mendaki, dan penuh onak duri justru memicu adrenalinnya. Kuncinya fokus dan konsentrasi.
Tarno dan keluarganya setiap tahun nekat membelah Jawa bagian selatan dengan sepeda motor. Tarno merindukan suasana riuh rendah berkumpul dengan keluarga besarnya. Amboi. Lidahnya terlalu cerdas buat melupakan aroma khas kuah gulai ayam masakan simboknya yang disiramkan di atas ketupat rajangan. Aroma gulai itu bagaikan panggilan suara simbok yang menggema terus tiada henti di bulan Ramadhan.
Ketupat memang punya kenangan tersendiri bagi Tarno. Puasa itu menjalankan perintah agama. Belah ketupat sepulang shalat Ied itu tradisi sehabis menjalankan ibadah puasa. Di masa remaja ia pernah mendapat tauziah dari mendiang kakeknya perihal ketupat yang selalu dihidangkan bersama opor dan sambal krecek di hari lebaran. Ketupat matang yang keras dan dingin sesungguhya lambang hati manusia yang cenderung kaku dan egois. Bungkus ketupat yang terbuat dari janur berwarna kuning kehijauan mengambarkan fitrah manusia yang senantiasa harus memperbaharui dan meremajakan diri dengan saling memberi maaf. Permaafan bersama memberidan mengasihi merupakan tiga jalan menuju kebahagiaan dengan cara berdamai dengan orang lain.
Orang Jawa menyebut ketupat dengan ungkapan kupat luwar. Kupat merupakan simbol pembebasan dari belenggu masa lalu. Disajikan dengan cara dibelah memakai pisau tajam sebagai simbol ngluwari---pembersihan dari khilaf dan dosa. Kuah opor atau gulai yang diguyurkan di atas ketupat melambangkan semangat untuk memadamkan amarah, nafsu, iri, dan dengki.
Tradisi halal bihalal masih terasa kental di kampung halaman Tarno. Permaafan melepaskan Tarno dari belenggu kesalahan masa lalu dan menyadari bahwa yang menjadi tawanan masa lalu tidak lain dirinya sendiri. Permaafan yang membuatnya kembali kuat mengarungi hidup di jaman edan ini. Pertama-tama Tarno memaafkan diri sendiri. Agar perasaan malu dan penyangkalan diri tidak terlalu berat untuk dipikul. Ia juga memaafkan orang lain atas peran mereka dalam membuat kecewa dan sedih.
Tujuan hidup Tarno bukan untuk memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus berkembang dan tumbuh. Selain berdamai dengan orang lain, Tarno berusaha berdamai dengan diri sendiri: ia berusaha senantiasa sabar, bersyukur, dan bersahaja. Shalat Ied di Lapangan, bagi Tarno, merupakan puncak dari hasrat baktinya kepada Sang Khalik. Tarno berusaha pasrah, sumarah, dan berdamai dengan Tuhan 
Begitulah pergulatan para pemudik membangun sarang kebahagiaan. Fitrah manusia itu niente senza gioia. Manusia selalu mengusahakan hari-harinya bergelimang kegembiraan. Kendati kegembiraan, meminjam istilah Ranggawarsita, harus diperjuangkan di tengah ganasnya hukum rimba jaman tega---kala tida. ***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta, penulis Simply Amazing (2009) & Editor Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (2011).

1 komentar:

404 mengatakan...

Lampung, Aktual.com — PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Cabang Bakauheni mencatat jumlah pemudik yang telah kembali dari Sumatera ke Jawa melalui Pelabuhan Bakauheni, Lampung, mencapai 210.036 orang pada H+4 Lebaran 2015.

Berdasarkan data dari posko Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni, Rabu (22/7) menyebutkan, dari jumlah tersebut diperkirakan masih ada sekitar 437.165 orang yang belum kembali karena jumlah penumpang arus mudik lalu mencapai 647.800 orang.

Pemudik sepeda motor yang sudah kembali mencapai 20.437 unit, dan masih tersisa 44.919 unit yang belum kembali ke Jawa.

ASDP Bakauheni: H+4 Lebaran, 210 Ribu Pemudik Kembali ke Jawa