Banyak perupa ikut sayembara. Dua
seniman masuk nominasi juara. Lukisan pertama menggambarkan danau teduh.
Pantulan sempurna bagi pegunungan tenang
yang menjulang di sekelilingnya. Semua orang
mengira lukisan itulah yang bakal memenangi tropi.
Lukisan kedua
menggambarkan pegunungan tandus gersang. Langit tampak sedang murka di atasnya.
Hujan tumpah. Petir mengamuk tiada henti. Di lereng
yang curam terdapat air terjun berbusa-busa.
Semak belukar tumbuh di balik air terjun, di antara retakan batu karang. Seekor induk burung belibis sedang
menyelesaikan sarang di sana. Di tengah-tengah gejolak amarah air, induk belibis betengger
di sarangnya dalam ketenangan nyaris sempurna.
Raja memilih lukisan kedua. "Kedamaian bukan berarti berada di suatu tempat yang bersih dari
bahaya, sepi dari ancaman, atau terbebas
dari tuntutan disiplin kerja, ujarnya." Kedamaian maknanya ketika hati
Anda tidak ciut kendati berada di tengah
kesulitan dan tantangan.
Metafora burung belibis membangun
sarang di tempat berbahaya amat kena dipakai buat menjelaskan hasrat para
pemudik kembali ke desa mereka menjelang Hari Raya Idul Fitri. Lik Tarno (36)
dan Yu Warti (33) bagaikan perupa yang memenangi sayembara raja. Pasangan suami
istri ini memboncengkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil dengan sepeda
motor mudik dari Bogor ke Kulon Progo. Berangkat subuh sampai di desa Bumirejo,
Lendah, Kulon Progo, DIY hampir subuh. Mereka tampak lusuh, penat, dan tampias
kejujanan sesudah menempuh perjalanan berat dan panjang melewati Puncak,
Cianjur, Bandung, Tasik Malaya, Ciamis, Banyumas, Kebumen, dan Purworejo.
Tarno dan Warti, salah satu dari
jutaan “pasukan semut’, julukan polisi buat para pemudik sepeda motor, yang
meninggalkan kota-kota besar di Jawa buat pulang kampung di hari lebaran.
Mereka mudik menggunakan sepeda motor karena lebih praktis, murah, dan langsung
sampai ke tujuan. Tarno kapok mudik berjubel di dalam bus bumel atau kereta
ekonomi. Sampai di terminal atau stasiun tujuan masih harus pating greweng (ribet)
gonta-ganti angkutan untuk sampai desanya. Belum lagi perasaaan terhina
dilangkahi sesama penumpang atau pedagang asongan saat berdesak-desakan di
lantai kereta yang tumpat pedat pemudik.
Tarno menyadari mudik bersepeda
motor berbahaya dan berisiko tinggi. Miris juga, katanya, tiap kali mendapati
sepeda motor sesama pemudik bergelimpangan dan tumpah bersama seluruh muatannya
di jalan raya karena pengendaranya teledor, tergopoh, atau mengantuk. Ia, saat
mulai diserang perasaan kemrungsung dan cenderung ngebut memilih ngaso
di SPBU atau masjid. Tak heran, dengan kecepatan rata-rata 50-70 Km/jam, ia
memerlukan waktu tempuh 22 jam.
Beginila
doa yang dipanjatkan Tarno setiap kali hendak memulai perjalanan: Gusti kula
nyuwun slamet lahir batin. Tinebihna kula sak kaluargi saking bebaya saha
pengapesan Tuhan aku memohon keselamatan jiwa raga. Jauhkanlah kami
sekeluarga dari mara bahaya dan kesialan. Ia amat menikmati perjalanan. Rute
yang terjal, berkelok, mendaki, dan penuh onak duri justru memicu adrenalinnya.
Kuncinya fokus dan konsentrasi.
Tarno
dan keluarganya setiap tahun nekat membelah Jawa bagian selatan dengan sepeda
motor. Tarno merindukan suasana riuh rendah berkumpul dengan keluarga besarnya.
Amboi. Lidahnya terlalu cerdas buat melupakan aroma khas kuah gulai ayam
masakan simboknya yang disiramkan di atas ketupat rajangan. Aroma gulai itu
bagaikan panggilan suara simbok yang menggema terus tiada henti di bulan
Ramadhan.
Ketupat
memang punya kenangan tersendiri bagi Tarno. Puasa itu menjalankan perintah
agama. Belah ketupat sepulang shalat Ied itu tradisi sehabis menjalankan ibadah
puasa. Di masa remaja ia pernah mendapat tauziah dari mendiang kakeknya perihal
ketupat yang selalu dihidangkan bersama opor dan sambal krecek di hari lebaran.
Ketupat matang yang keras dan dingin sesungguhya lambang hati manusia yang
cenderung kaku dan egois. Bungkus ketupat yang terbuat dari janur berwarna
kuning kehijauan mengambarkan fitrah manusia yang senantiasa harus
memperbaharui dan meremajakan diri dengan saling memberi maaf. Permaafan
bersama memberidan mengasihi merupakan tiga jalan menuju kebahagiaan dengan
cara berdamai dengan orang lain.
Orang
Jawa menyebut ketupat dengan ungkapan kupat luwar. Kupat
merupakan simbol pembebasan dari belenggu masa lalu. Disajikan dengan cara
dibelah memakai pisau tajam sebagai simbol ngluwari---pembersihan dari khilaf dan dosa.
Kuah opor atau gulai yang diguyurkan di atas ketupat melambangkan semangat
untuk memadamkan amarah, nafsu, iri, dan dengki.
Tradisi
halal bihalal masih terasa kental di kampung halaman Tarno. Permaafan
melepaskan Tarno dari belenggu kesalahan masa lalu dan menyadari bahwa yang
menjadi tawanan masa lalu tidak lain dirinya sendiri. Permaafan yang membuatnya
kembali kuat mengarungi hidup di jaman edan ini. Pertama-tama Tarno memaafkan
diri sendiri. Agar perasaan malu dan penyangkalan diri tidak terlalu berat
untuk dipikul. Ia juga memaafkan orang lain atas peran mereka dalam membuat
kecewa dan sedih.
Tujuan
hidup Tarno bukan untuk memikul segala keluhan sesal melainkan untuk terus
berkembang dan tumbuh. Selain berdamai dengan orang lain, Tarno berusaha
berdamai dengan diri sendiri: ia berusaha senantiasa sabar, bersyukur, dan
bersahaja. Shalat Ied di Lapangan, bagi Tarno, merupakan puncak dari hasrat
baktinya kepada Sang Khalik. Tarno berusaha pasrah, sumarah, dan berdamai dengan Tuhan
Begitulah
pergulatan para pemudik membangun sarang kebahagiaan. Fitrah manusia itu
di tengah ganasnya hukum rimba jaman
tega---kala tida. ***
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta, penulis Simply Amazing (2009) & Editor Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (2011).
1 komentar:
Lampung, Aktual.com — PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Cabang Bakauheni mencatat jumlah pemudik yang telah kembali dari Sumatera ke Jawa melalui Pelabuhan Bakauheni, Lampung, mencapai 210.036 orang pada H+4 Lebaran 2015.
Berdasarkan data dari posko Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni, Rabu (22/7) menyebutkan, dari jumlah tersebut diperkirakan masih ada sekitar 437.165 orang yang belum kembali karena jumlah penumpang arus mudik lalu mencapai 647.800 orang.
Pemudik sepeda motor yang sudah kembali mencapai 20.437 unit, dan masih tersisa 44.919 unit yang belum kembali ke Jawa.
ASDP Bakauheni: H+4 Lebaran, 210 Ribu Pemudik Kembali ke Jawa
Posting Komentar