Selasa, 08 Januari 2008

Esei Di Balik Buku JAWA POS Minggu, 12 Agustus 2007

JAWA POS Minggu, 12 Agustus 2007
Mata Baru Peresensi Buku
Oleh: J. Sumardianta
RABU (15/8) besuk penerbit Mizan Bandung akan menyelenggarakan acara Kumpul Peresensi Buku di Kaliurang, Yogyakarta. Panitia mengundang sekitar 50-an peresensi yang aktif meresensi buku-buku produk Mizan Group. Domisili para peresensi itu tersebar di kota-kota seantero Jawa. Jogjakarta dipilih sebagai tempat perhelatan karena mayoritas peserta menetap di kota pelajar itu.
Gathering peresensi itu akan menghadirkan tiga narasumber: Hernowo, mewakili kelompok penerbit Mizan; Arief Santosa, penjaga Rubrik Buku Jawa Pos; dan saya sendiri. Hernowo akan berbicara mengenai resensi sebagai gagrak penulisan kreatif. Arief Santosa akan menceritakan suka duka mengelola rubrik pustaka, sedangkan saya hendak berbagi spirit sejauh ditemukan dari kegiatan memasak dan menjajakan tulisan di media cetak.
Kumpul peresensi Mizan bertema “Buku Melangitkanku” merupakan pertemuan banyak hasrat. Penerbit memperoleh media penyebarluasan informasi, redaktur mendapatkan suplai naskah berbobot dan bermutu, sementara peresensi semakin profesional dalam ngracik ukara ngrumpaka basa (menekuni bidang baca tulis).
“Reading and writing is a basic toll in living of a good life (Membaca dan menulis merupakan salah satu piranti dasar kehidupan yang berkualitas),” ujar Mortimer J. Alder. Baca tulis merupakan dunia yang mesti membuat hidup pelakunya, termasuk peresensi, bergelimang nilai dan bermandikan makna.
Ambil contoh, antologi puisi Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung. Buku penyair Joko Pinurbo (2007) itu memperlihatkan penggubahnya gabungan genius keprigelan seorang maestro penyair menciptakan bahasa dan kedalaman refleksi seorang pemikir yang bersikeras hendak mengubah tragika nasib menjadi ironi yang membebaskan berdasarkan prinsip pembingkaian ulang masalah.
Sajak Terkenang Celana Pak Guru membuat pembaca, saat terjatuh di jurang kegagalan, tetap punya nyali untuk mengambil manfaat dari kemalangan. Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas./ Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,/ kemudian terkulai di atas meja./ kami, anak-anak yang bengal, beriringan masuk sambil mengucapkan, “Selamat pagi, Pak Guru”/ Pak guru tambah nyeyak. Dengkur dan air liurnya seakan mau mengatakan, “Bapak sangat lelah.” Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Pak Guru telah berjanji menceritakan kisah para pahlawan/ yang potretnya terpampang di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya./ kami baca di papan tulis, “Baca halaman 10 dan seterusnya./ Hafalkan semua nama dan peristiwa.”/ Sudah siang, Pak Guru belum juga siuman./ Hanya rits celanya yang masih setengah terbuka seakan mau mengatakan, “bapak habis lembur semalam.”/ Ada yang cekikikan./ Ada yang terharu dan mengusap/ matanya yang berkaca-kaca./ Ada pula yang lancang/ membelai-belai gundulnya sambil berkata, “kasihan kepala yang gemar ikut penataran ini.”
Antologi Jokpin itu membenarkan aforisma filsuf Nietzche, “Segala sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku kuat”. Mengambil manfaat dari kemalangan menuntut pengakuan akan fakta tragis tapi indah bahwa tidak semua masalah memiliki solusi. Tidak semua perbedaan bisa didamaikan. Berani menghadapi kepedihan yang disertai rasa malu. Memiliki daya pegas untuk tetap berkembang melampaui risiko sebagai konsekuensi pilihan hidup.
Seorang peresensi mesti memiliki antene kepekaan guna memilah mana literatur yang mengandung asupan rohani tinggi, mana literatur yang, maaf, “sekadar mencerdaskan kehidupan bangsat”. Bisa membedakan bacaan yang bila di-review di media massa meningkatkan maqam spiritual ke level lebih tinggi. Bukan literatur sastra peternakan yang justru memerosokkan pembaca ke dunia pelarian kaum suka hibur yang doyan berkenes-kenes memuja ketelanjangan.
Buku pancalogi jurnalisme sastrawi karya Sindhunata (2006) Segelas Beras untuk Berdua, Dari Pulau Buru ke Venezia, Burung-Burung di Bundaran HI, Petruk Jadi Ratu, dan Ekonomi Kerbau Bingung merupakan bacaan wajib bagi siapa pun yang berkecimpung di media cetak, termasuk peresensi. Kelima buku itu menyalakan harapan di tengah kehidupan mayoritas bangsa Indonesia yang sumpek didera aneka percobaan nan tak kunjung padam.
Para peresensi mesti menanggalkan kecenderungan berpikir usang (tend to think the way they are). Mesti mencari kemungkinan dan jalan keluar terbaik (tend to think the way they could be). Inilah warta apokaliptik (pesan etis) yang bisa ditimba dari buku Re-Code. Buku yang memiliki daya sentuh, daya gerak, dan daya ubah karya Rhenald Kasali (2007).
Buku-buku yang diresensi hendaknya mampu mengubah pola pikir dan perilaku pembaca menjadi lebih terbuka terhadap pengalaman baru (openness to experience). Sangat berdisiplin dan penuh dedikasi (conscientiousness). Bukan kaum introvert yang menarik diri dari pergaulan sosial (extroversion). Selalu setia terhadap kesepakatan (agreebleness). Dan, tahan uji dalam menghadapi segala bentuk tekanan dengan kepala dingin (neuroticism). Tidak gampang meliuk didera kesulitan (don’t crack under pressure).
Para peresensi, meminjam kerangka berpikir Danah Zohar dan Ian Marshal dalam buku Spiritual Capital (2005), mesti memiliki 12 prinsip transformasi: kesadaran diri, spontanitas, terbimbing visi dan nilai, berjiwa holistik, kepedulian, menghormati keragaman, independen terhadap lingkungan, berpikir mendasar, pembingkaian ulang, mengambil manfaat dari kemalangan, kerendahan hati, dan keterpanggilan (vocation).
Itulah mata (perspektif) baru peresensi buku. Mungkin terkesan abstrak dan agak filosofis. Tidak memberikan petunjuk konkret bagaimana kiat menembus rubrik buku di surat kabar nasional. Kendati demikian, siapa pun akan tetap kesulitan dimuat di media nasional bila cara kerjanya terlampau pragmatis dan gemar lompat pagar. Terlebih para peresensi yang lebih menghargai hasil ketimbang proses --sibuk mencari tahu email pribadi dan nomor ponsel redaktur. (J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese de Britto Yogyakarta)

Tidak ada komentar: