Minggu, 13 Januari 2008

Opini tentang Gus Dur, KOMPAS, 19 Agustus 2000

OPINI
KOMPAS, Sabtu, 19 Agustus 2000
Demokrasi Dicita, Anarki Tiba
Oleh J Sumardianta
MENGANJURKAN demokrasi pada rakyat Indonesia bagai memasang korset terlampau ketat di perut seorang perempuan. Demokrasi enak dibicarakan saat tidak berkuasa. Ketika berkuasa, demokrasi sebenarnya merupakan isu politik yang menjengkelkan. Pameo ini berlaku buat penguasa mana pun, tanpa kecuali Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Meski berbekal modal sosial-politik kuat, karena terpilih lewat pemilu demokrasi, posisi Gus Dur terbilang tidak aman. Gus Dur menghadapi riak-riak ketidakpuasan yang bisa berubah jadi gelombang besar. Terutama sejak Gus Dur menyorongkan gagasan pencabutan Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Ketidakpuasan mengeras akibat akumulasi kasus per kasus seperti pencopotan Hamzah Haz, Jenderal Wiranto, Laksamana Sukardi, dan Jusuf Kalla sebagai menteri, serta Buloggate, Bolkiahgate, PLN-gate, dan Sabiringate. Ada gejala, orang Indonesia putus asa memikirkan kinerja pemerintahan Gus Dur. Kekaguman orang kepadanya merosot. Ia masih bertahan karena orang trauma dan phobi akan alternatif penggantinya. Gus Dur memang "tidak prigel memerintah" dan suka jalan sendiri. Krisis ekonomi dan politik makin tak terkelola. Pemerintahan makin tak tertata. Gejalanya semi anarki merajalela, nilai rupiah melemah, bara Aceh, Maluku, Poso, dan Irian Jaya, menjalar ke Jawa. Ini yang makin memotivasi rival-rival politik untuk memakzulkan (meng-impeachment) Gus Dur. ***
MEMAKZULKAN Gus Dur, sebenarnya, tak semudah membuka peti lalu mengeluarkan isinya. Megawati, personifikasi partai "Banteng Tambun", tidak cukup punya nyali untuk mengintrodusir inisiatif. Akbar Tandjung, personifikasi "Beringin Rimbun", sangat kalkulatif. Amien Rais, personifikasi "Poros Tengah", yang biasanya nekat nyalib di tikungan terakhir, kini mesti cermat berhitung-keputusannya bisa memicu kekerasan massal warga Nahdlatul Ulama versus Muhammadiyah. Terlebih warga nahdliyin, berbasis massa mega besar di Jawa Timur, sebagaimana dielaborasi Hermawan Sulistyo, dalam Palu Arit di Ladang Tebu (2000), punya pengalaman sejarah dalam konfrontasi mematikan melawan PKI menjelang maupun pasca-Gestapu. Singkat kata, bila pemerintahan Gus Dur sampai dimakzulkan, Indonesia bisa terjerumus kembali di pusaran air yang menghisap ke bawah (vortical) persis di tahun 1965-1966. Jelas, tidak masuk akal jika gonjang-ganjing Indonesia melulu dibebankan di pundak Gus Dur. Kabinet Persatuan Pembangunan, disadari sejak awal, tidak ideal karena merupakan hasil rekonsiliasi ala dagang sapi di antara juragan partai politik. Memakai rekonsiliasi untuk kepentingan kekuasaan sebenarnya salah kaprah. Rekonsiliasi adalah pengertian agama dan teologi. Maknanya pertobatan dan pengampunan agar hubungan antarmanusia yang telah dirobek-robek oleh kesalahan masa lalu dapat dipulihkan kembali. Gus Dur, yang besar di lingkungan LSM, sebenarnya konsisten menabur benih-benih demokrasi pluralistik. Ia kiai inklusif berpikiran maju. Sayang, pemerintahannya tidak solid sehingga rakyat mudah diprovokasi kaum oportunis memanen anarki. Proses kelahiran demokrasi di Indonesia, menyitir Romo G Sindhunata SJ, dalam Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000), setali tiga uang dengan derita perempuan yang tengah menjalani persalinan lewat operasi, penuh kesakitan, ketegangan, dan kecemasan luar biasa. Ketidaknormalan proses persalinan itu klimaks 32 tahun kejumawaan Orde Baru. Ada seorang yang mirip diktator ingin berkuasa terus-menerus. Bersamaan dengan dilucutinya topeng-topeng sang diktator, kerusuhan, kekerasan, disintegrasi vertikal maupun horisontal, dan demoralisasi datang silih berganti. Para pihak yang bertikai kehilangan kreativitas kemanusiaan buat meresolusi konflik secara damai. Mereka menghabiskan energi hanya untuk mengekspresikan kebodohan natural manusia-saling menyalahkan dan membunuh. *** ELITE politik Indonesia sedang terperangkap veloziverisch, persilangan antara velocitas (ketergopoh-gopohan) dan Lucifer, si penghulu setan. Para elite politik saling menyabot kekuasaan. Karena elite politik kehilangan ketenangan, peradaban pun berubah menjadi kebiadaban. Ujung-ujungnya, rakyat dirundung kegelisahan. Kehidupan mereka bagaikan beras sedang ditampi. Bingung, cemas, dan makin sengsara, jadi bulan-bulanan kekuatan anonim. Kodok, mengingat faal tubuh nya, tidak punya sensitivitas atas perubahan suhu di sekitarnya. Suhu tubuh kodok turun-naiknya mengikuti suhu habitat. Jika ditaruh dalam panci berair lalu dipanasi pelan-pelan, kodok itu akan mati. Metafora kodok rebus ini pas buat menggambarkan ketidakpekaan elite politik atas sindrom kapal Titanic yang menyergap bangsa Indonesia. Elite politik Indonesia tidak punya sense of urgency-terus berebut sesuatu yang tidak jelas juntrungan dan faedahnya. Mereka gagal merancang visi, misi, dan aksi, untuk menyelamatkan Indonesia yang sudah berada dalam tubir kemelelehan (on the brink of melting down). Egoisme elite politik telah mengantar Indonesia ke ambang krisis ekonomi gelombang kedua. Sense of urgency inilah yang mesti dinyalakan buat mengatasi masalah-masalah krusial yang telah lama menelikung bangsa Indonesia. Masalah-masalah yang dikhawatirkan bisa menenggelamkan Indonesia itu antara lain breakdown of law and order (runtuhnya supremasi hukum dan tertib sosial), erosi nasionalisme yang mengarah disintegrasi, dan dislokasi konflik horisontal ditandai agresivitas massa. Keterjerumusan bangsa Indonesia, dalam sumur tanpa dasar, bukan proses tiba-tiba. Awalnya, meminjam istilah Prof Teuku Jacob (2000), kelalaian dalam pemeriksaan kondisi kesehatan Indonesia menyeluruh secara rutin. "Dokter-dokter ahli patologi sosial" tidak menjalankan tugas dengan baik-gemar membuat surat keterangan sehat karena suap. Mereka hanya mengobati gejala penyakit, bukan mengatasi penyebabnya. Sikap, disiplin, etika, dan moralitas elite politik Indonesia, setali tiga uang dengan air, cenderung mengalir ke tempat yang paling rendah. Tak heran bila berbagai bentuk kriminalisasi konflik politik, kezaliman radikal, politik "belah bambu" antar-agama maupun etnisitas, dan terorisme manifes atau terselubung melembaga di seluruh pelosok negeri. Indonesia telah lama ditelikung krisis kelembagaan birokrasi. Birokrasi Indonesia menderita obesitas. Pegawai tumbuh terus diiringi meningkatnya kebocoran anggaran. Kegemukan membuat birokrasi sukar bergerak dan mengubah haluan. Itu sebabnya mudah terkena serangan jantung mendadak. Birokrasi pemerintahan, sampai hari ini, bisa dibilang bizarre government (tidak lazim) dan feeble government (tidak mumpuni). *** BIROKRASI identik maladministrasi dan korupsi. Korupsi berarti lenyapnya kemampuan untuk setia pada prinsip dan aturan main. Dalam sistem korup, kata Nietzche, mereka yang tidak ikut korupsi dianggap pandir (die nichtkorrupte sind die dumme). Birokrat hidup dari suap, pelicin, dan nepotisme. Masyarakat, bahkan untuk mengakses layanan fasilitas yang paling elementer, misalnya, antre beli tiket di stasiun kereta api, mesti menyuap. Korupsi yang nyaris merata jelas menandakan keruntuhan moral bangsa. Inilah sumber ketidakpastian politik berkesinambungan. Kondisi parah ini memang warisan rezim Orde Baru. Berbagai aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak satu pun luput dari jerat sistem Orde Baru yang kleptokratik (berwatak pencuri), mobokratik (berperangai bandit), sentralistik, sarat KKN, dan bergelimang kekerasan. Hubungan penguasa dengan rakyat jangankan bersupremasi kawulo, egaliter pun tidak. Tak heran bila penegakan hukum majal. Orang yang jelas-jelas menzalimi rakyat tetap bebas melenggang menginjak keadilan. Mereka, berkedok reformasi, dan bersekongkol dengan anggota parlemen hasil Pemilu 1999, cuci tangan dari segala keruwetan Orde Baru dengan cara memelintir produk-produk hukum demi keselamatan mereka. Indonesia tengah menjalani transisi besar dari otokrasi menjadi demokrasi partisipatif. Transisi ini tidak dibimbing partai yang menang mutlak dalam pemilu. Piranti buat mengefektifkan kekuasaan seperti partai, parlemen, militer, polisi, kejaksaan, lembaga audit keuangan dan peradilan semuanya masih rapuh untuk tidak mengatakan berantakan. Lembaga-lembaga itu mengalami atrofi, melulu diperlakukan sebagai dekor demokrasi. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Tidak ada seorang presiden pun yang bisa menjalankan pemerintahan dalam kondisi compang-camping begini. Siapa pun pemimpin Indonesia yang hendak menunaikan amanat reformasi, dalam situasi kacau yang sudah demikian bangkrut dan sistemik, ibarat hendak menjaring matahari. Ini cermin Indonesia masih berada dalam tahap demokrasi yang belum terkonsolidasi (unconsoldated democracy). Belum ada jaminan transisi demokrasi secara otomatis bergerak ke arah instalasi demokrasi. Apalagi memasuki fase konsolidasi demokrasi. Indonesia, lazimnya berbagai negara yang mengalami kegagalan sistem otoritarianisme, tengah memasuki episode negosiasi demokrasi di antara berbagai entitas politik-militer, mosleem politics, mahasiswa, dan grassroot politics. Episode ini bisa berakhir dengan berjayanya kembali otoritarianisme. Bisa pula berproses menuju konsolidasi demokrasi. Nah, sampeyan Gus (Dur) tetap jadi tumpuan harapan Indonesia untuk menghela transisi menuju demokrasi secara aman dan damai. J Sumardianta, guru sejarah SMU Kolese de Britto Yogyakarta, alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tidak ada komentar: