Minggu, 13 Januari 2008

Resensi Buku di KOMPAS, 20 Desember 2003
Penghibura Rohani dalam Jurnalisme Sastrawi
DR A Sudiarja, melalui buku Bayang-Bayang, mengajak keluar dari salah kaprah ini. Berkat sentuhan Sudiarja, filsafat menjadi bacaan yang memiliki daya sentuh dan daya gugah dengan cita rasa menyenangkan. Filsafat Sudiarja bersentuhan langsung dengan keprihatinan hidup manusiawi yang ambigu, lemah, dan bergelimang kepahitan.Fungsi praktis dari filsafat sepertinya sangat ditekankan Sudiarja. Filsafat, oleh alumnus Universitas Gregoriana Roma, Italia, ini dipaksa keluar dari pertapaannya agar berarti bagi kehidupan. Filsafat, tanpa harus kehilangan wataknya yang reflektif dan dayanya untuk menjelaskan, di tangan Sudiarja menjadi wacana penghiburan yang mengobarkan semangat hidup penuh optimisme. Filsafat konsolasi ini ditulisnya dengan genre (gagrak) jurnalisme sastrawi. Ini bisa dimengerti mengingat 14 karangan yang dibukukan ini pernah dipublikasikan Majalah Kebudayaan BASIS periode 1996-1999. Refleksi tentang hidup dan pemikiran para tokoh maupun filsuf, seperti Asoka, Socrates, Plato, Boethius, Zeno, Abelard, Thomas More, Tolstoy, Mahatma Gandhi, Ana Frank, Antonio Gramsci, Zlata Filipovic, dan Nietzsche, disajikan Sudiarja dengan langgam penuturan cerita (story telling) yang memikat. Di balik kemalangan, tragika nasib, ketidakadilan, keterpisahan memilukan, diskriminasi, ketidakbebasan, kemelaratan, kekejaman, utopia, dan ketertundukan yang menimpa para tokoh itu ternyata tersimpan rahmat tersembunyi.Nirwana rupanya bersembunyi di balik samsara. Begitulah sari pati kebijaksanaan hidup Raja Asoka sebagaimana dituturkan Sudiarja dalam esai \\\"Kepedihan Kekuasaan\\\". Raja Asoka mendapati kesia-siaan hidup justru ketika berada di puncak kemasyhurannya. Kekuasaan, derajat, pangkat, dan kebahagiaan hidup sebagai warga istana sebenarnya nisbi (anicca). Segala sesuatu yang bersifat duniawi adalah penderitaan (duhkha). Mengikuti jejak Siddhartha Gautama, Sang Buddha yang telah mengalami pencerahan, Suddhodana, Raja Asoka membuang jauh-jauh politik penaklukan bergelimang darah (digvijaya) dan menggantinya dengan politik yang menyanjung hukum dan menyantuni keadilan penuh kasih serta pengertian (dhamavijaya).Sudiarja selanjutnya berkisah mengenai kemunafikan dan hipokrisi yang melanda dunia pendidikan berabad-abad lampau di Yunani dalam lakon Socrates mencari kebenaran. Para sophis gemar berkeliling kota untuk berkhotbah tentang kebenaran. Kaum bijak bestari itu tanpa malu menjajakan pengetahuan. Mereka cenderung bersaing satu dengan yang lain dalam mengajar untuk memperoleh imbalan yang besar. Socrates, berbeda dengan kaum sophis yang gemar menjual \\\"pernyataan\\\", lebih sering mengajukan \\\"pertanyaan\\\" karena sadar ia tak cukup pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan Socrates yang menghunjam dan beruntun membuat kaum sophis kebakaran jenggot. \\\"Saya tidak akan pernah berhenti menjadi kumbang untuk menyengat perut kuda Athena yang maunya tidur saja jiwanya,\\\" demikian Socrates pernah berujar. Socrates pun dihukum mati karena tuduhan menghasut generasi muda dengan pikiran sesat.Hidup ini akan terasa ringan, kendati kemalangan dan krisis menghantam bertubi-tubi, apabila dijalani dengan ikhlas dan mengalir. Inilah semesta hikmah yang bisa dipetik dari esai \\\"Hidup yang Bijaksana\\\". Penyelenggaraan Ilahi (takdir) berada di balik penderitaan manusiawi. Begitulah ajaran Zeno, pendiri aliran filsafat Stoa yang masyhur. Penderitaan harus diterima dengan ringan demi kesetiaan pada moral. Tidak perlu dihindari dan direaksikan secara emosional. Seneca, salah seorang yang setia pada jalur Stoa, berkeyakinan bahwa kebahagiaan tidak diukur dari banyaknya harta, kenikmatan, tiadanya rasa sakit, dan hilangnya berbagai godaan.\\\"Keadaanmu memang berat, tapi jangan menyerah. Engkau sedang kehilangan kesadaran yang benar dan membuat segala sesuatu menjadi tampak buruk di matamu. Tapi jangan cemas, aku akan mengobatimu. Bersikaplah tabah seperti Socrates dahulu tatkala menghadapi hukuman. Nanti engkau pun akan merasakan kebahagiaan apabila sudah memahami segalanya.\\\" Ini adalah kebijaksanaan utama yang menghibur (summmvitae solamen) dari Dewi Kebijaksanaan untuk filsuf Boethius. Pada tahun 522 M sang filsuf dijebloskan ke penjara karena tuduhan membuat persekutuan jahat hendak menggulingkan Imperium Romawi. Ia, setali tiga uang dengan Socrates, ikhlas menjalani hukuman mati di Pavia tahun 523 M.Di belahan dunia manakah manusia bisa hidup terbebas dari kemiskinan, ketidakadilan, dan kekerasan? Di Utopia. Di negeri ini semua orang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tidak ada persekongkolan orang kaya atas nama negara untuk melestarikan kedudukan mereka dengan hukum-hukum. Dalam esai \\\"Sindiran dari Negeri Mimpi\\\", Sudiarja menulis bahwa masyarakat Utopia tidak tertarik dan tidak menghargai kemewahan. Mereka hanya mencukupi kebutuhan dasariahnya. Pejabat maupun rakyat biasa berpakaian sama tanpa hiasan aksesori apa pun.Apakah diperlukan revolusi untuk memorak-porandakan kezaliman dan ketidakadilan yang dilembagakan kaum bangsawan feodal di Rusia yang merugikan petani miskin sebagaimana menjadi kekhawatiran Lyof Tolstoy, yang meninggalkan gelar kebangsawanannya untuk kemudian hidup bersama petani miskin di desa? Bagi Mahatma Gandhi kemenangan dengan darah harus dihindari. Taktik diplomasi tanpa kekerasan mesti dirayakan sebagai kemenangan manusiawi. Taktik inilah yang disebut Gandhi dengan ahimsa (nonviolence) melalui pembangkangan, pemogokan, dan pemboikotan. Soalnya, pengampunan lebih manusiawi ketimbang penghukuman.\\\"Pikirkanlah semua kemalangan di dunia ini dan bersyukurlah karena engkau tidak termasuk di dalamnya! Nasihatku sebaliknya, pergilah ke luar, ke kebun, nikmatilah alam, dan Matahari. Cobalah menangkap kebahagiaan di dalam dirimu dan di dalam Tuhan. Berpikirlah mengenai semua yang indah yang masih ada di sekitarmu.\\\" Ini adalah kutipan \\\"Catatan Harian\\\" yang ditulis Ana Frank, si gadis Yahudi, yang tewas di kamp konsentrasi sebagai korban keganasan holocaust yang dikobarkan Nazi-Hitler.Buku Bayang-Bayang yang ditulis oleh Direktur Program Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, ini diakhiri dengan renungan \\\"Sabda Zarathustra\\\" karya Nietzsche. Kenyataan buruk ateistik yang dipaparkan sang filsuf si penjagal Tuhan ternyata mengandung utopia humanis mengenai masa depan yang lebih beradab dan manusiawi-bahkan pada saat Tuhan telah diingkari.Fun just fun. Itulah salah satu kesan umum setelah membaca buku karya padri Jesuit yang kini bekerja sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan BASIS. Buku ini, dicerna oleh pembaca awam sekalipun, tetap mengasyikkan karena diberi pengantar dan sinopsis oleh Dr Sindhunata, pelopor penulisan filsafat dengan genre jurnalisme sastrawi. Buku ini bukanlah kitab siraman rohani, melainkan karya sastra untuk memeriksa makna hidup agar lebih berarti.J Sumardianta,/b> Penggiat Komunitas Mata Baru Kutu Buku dan Guru SMU Kolese de Britto Yogyakarta

Tidak ada komentar: