Resensi Buku di GATRA, Senin, 22 Juli 2002
Menyiasati Pluralisme Nurcholish
PROF. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasan tentang pluralisme menjadikan Cak Nur intelektual muslim garda depan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di ambang kemelelehan dan disintegrasi bangsa, entah akibat keragaman etnisitas, subkultur, identitas agama, dan disorientasi politik. Nur Khalik Ridwan, melalui buku Pluralisme Borjuis (Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur) ini, melakukan kajian kritis atas gagasan pluralisme Cak Nur. Peneliti jebolan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini menganggap pemikiran Cak Nur, kendati memiliki tingkat liberalisasi tinggi, serta didukung penguasaan khazanah Islam klasik dan modern, telah menjadi semacam rezim kebenaran atau hegemoni intelektual bercorak logosentris. Pribadinya cenderung dikultuskan, dan gagasannya "disakralkan". Nah, pluralisme Cak Nur inilah yang dikaji Khalik dengan perspektif lain. Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya. Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Khalik menyebut Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan Khalik untuk mengidentifikasi kelas mengengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya condong ke Masyumi-HMI, dan cenderung mengusung simbol-simbol Islam formal. Menurut Khalik, pluralisme Cak Nur, yang bertumpu pada gagasan Islam agama universal, tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri. Dalam konteks ahlulkitab, Cak Nur hanya terpaku pada agama formal dan mengesampingkan "paham-paham keagamaan" masyarakat adat yang terkesan primitif namun kaya kearifan. Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi (menghindarkan umat dari kecenderungan mengukhrawikan persoalan duniawi tanpa kecuali gagasan negara Islam) dan modernisasi (menganjurkan umat berpikir rasional dengan mendukung pembangunan) dinilai Khalik sebagai strategi buat mengelabui rezim otoritarian Orde Baru. Agar komunitas Islam borjuis tidak terus-menerus larut dalam trauma kepahitan politik dibubarkannya Masyumi. Ide Islam yes, partai Islam no, yang diintroduksi Cak Nur saat Soeharto mengebiri partai berbasis agama dan ideologi pada awal 1970-an, dinilai Khalik sebagai strategi neo-Masyumi untuk bersimbiosis dengan kepentingan rezim, agar mereka tidak lagi dituduh mengusung formalisme Islam ke arena politik. Dan agar Soeharto memandang pewaris Masyumi menyantuni Islam substantif. Tak mengheran bila mereka banyak yang jadi petinggi Golkar dan terserap ke birokrasi pemerintahan. Pluralisme Cak Nur, di mata Khalik, tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan "sampah masyarakat" perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan sekaligus pengambinghitaman. Konsepsi Cak Nur tentang Islam sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang spiritual, melalui berbagai kursus filsafat keagamaan yang diselenggarakan Paramadina di hotel-hotel berbintang. Tak mengherankan pula bila Khalik menyebut kinerja Cak Nur sebagai pluralisme borjuis. Sayang, kerangka sosiologi pengetahuan John B. Thompson, dalam Studies in the Theory of Ideology (1985), kurang didayagunakan Khalik untuk mempertajam hasil analisis. Kendati disajikan dengan langgam subjektivitas yang meledak-ledak, buku ini tergolong karya teologi pembebasan tahap keempat. Refleksinya sudah menggunakan metode analisis nonmarxis, berangkat bukan dari dogmatisme agama, melainkan keprihatinan iman wong kesrakat, dan menyantuni heterogenitas agama dalam perjumpaannya dengan Islam.[J. Sumardianta, Pustakawan, tinggal di Yogyakarta]
[Buku, GATRA, Nomor 36 Beredar Senin 22 Juli 2002]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar