Sabtu, 05 Januari 2008

Resensi Buku Menjadi Raksasa Makmur Sejahtera, Jawa Pos

Resensi Buku untuk JAWA POS
Menjadi Raksasa Makmur Sejahtera
Judul buku: The XO Way (3 Giants 6 liliputs)
Penulis: Herry Tjahyono
Pengantar: Rhenald Kasali, Ph D.
Penerbit: Grasindo, Jakarta, Maret 2007
Tebal: xxv + 198 halaman
Patrisio adalah seorang manajer senior pada sebuah perusahaan komputer multi nasional. Ia sudah menikah dan memiliki sepasang anak berusia belasan tahun. Ia menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang senantiasa tegang, enggan memperlihatkan emosi, gampang disulut amarah, dan tidak sabar terhadap para koleganya serta bawahannya saat bekerja. Pada usia ke-40 Patrisio memutuskan bahwa hidup harus lebih terbimbing visi dan nilai. Selama ini ia merasa hidupnya kurang memiliki spontanitas dan kepedulian.
Di rumah Patrisio bertekad untuk memperbaiki hubungan dengan putranya yang berusia 16 tahun. Relasi keduanya sudah lama dirundung perang dingin. Patrisio tidak memedulikan anaknya yang acap menghabiskan sebagian besar waktunya dengan menenggelamkan diri di kamar tidur. Bapak dan anak lalu bicara dari hati ke hati. Keduanya mengakhiri perbincangan dengan saling berpelukan dan mengungkapkan cinta masing-masing. Pertemuan ini menyuntikkan tambahan energi, harapan, dan optimisme ke dalam keluarga sebagai satu keutuhan.
Di kantor Patrisio berusaha lebih sabar, banyak mengekspresikan perasaan, dan menjadi pendengar yang baik. Tak lama kemudian, istrinya merasa Patrisio lebih bisa berdamai dengan diri sendiri. Hidupnya pun bergelimang perasaan syukur. Di tempat kerja para koleganya juga melihat perubahan perangai dan perilaku Patrisio yang tidak gampang uringa-uringan. Perubahan yang mendongkrak produktivitas pada unit kerjanya.
Patrisio, meminjam kerangka berpikir Herry Tjahyono dalam buku The XO Way, merupakan preseden bagus profesional yang menabur cita-cita raksasa untuk menuai kesejahteraan dan kemakmuran. Menurut Herry Tjahyono, orang modern memang punya kecenderungan memburu sukses dengan menjalani gaya hidup super sibuk dan gila-kerja. Perilaku yang berujung pada depresi, hampa makna, keluarga mawut (broeken home), stroke, dan hipertensi.
Banyak bos besar perusahaan yang kebak luber kocak-kacik---bergelimang kekayaan material namun busung lapar di gurun spiritual. Mereka kaya tapi tidak sejahtera karena kajiret bebalutaning gesang (diperbudak kerja dan harta). Uang dan harta kata Herry Tjahyono memang hamba yang baik tetapi tuan yang buruk. Kartolo, legenda ludruk Jawa Timur, benar, “Wong urip kuwi sugih durung karuan mati wis mesti (orang hidup itu kaya belum tentu mati sudah pasti)”.
Banyak buku panduan yang menganjurkan orang menjadi kaya mendadak. Kampanye menjadi kaum tajir rupanya justru membuat orang salah arah dan terperosok ke jurang disorientasi. Kampanye berpacu menuju puncak kekayaan ini, kata Herry Tjahyono, efek dari gelombang pasang tsunami konsumerisme yang menyapu pelbagai belahan dunia. Konsumerisme menyebarluaskan affluensa: virus penyebab kecanduan memiliki harta secara berlebihan. Gejala utama pengidap virus penyebab depresi ini: orang sudah tidak bisa membedakan lagi antara kebutuhan hidup (need) dengan keinginan (want). Soalnya, kebanyakan iklan produk barang dan jasa merangsang konsumen belanja kebutuhan pencetus keinginan (need create want). Keinginan berubah menjadi petaka karena orang terjebak the sky is the limit (keinginan itu seperti langit tiada batas).
Buku, karya Corporate Human Resources Director Agung Sedayu, ini mengajak pembaca menyusuri jalan emas menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Tiga pedoman raksasa (giant hope, giant paradigm, giant goal) dan enam teknik liliput (Doolitle, Baby’s Peak, Kyue W-H, Tabularasa, Landak, dan Gulliver) di tengah kehidupan masyarakat yang kecewa, bingung, pengap, dan mengalami disorientasi membantu pembaca menjadi “Giant Person”. Buku ini menawarkan 3 pedoman besar dan 6 teknik efisien guna mewujudkan hidup yang mengalir, sejahtera, dan bahagia bergelimang pengalaman dan prestasi puncak. Giant, simbol kekuatan, besar, dan kokoh-tak tergoyahkan. Liliput merupakan pralambang efisien-efektif, gesit-lincah-fleksibel, dan cepat-tepat dalam menjalani kehidupan.
Di jalanan gelandangan dan pengemis makin merajalela. Antri pengangguran terdidik makin berketiak ular. Bagi yang sudah bekerja bukan jamannya lagi bisa menggenggam karir sampai pensiun. Kerasnya persaingan memaksa orang setiap saat harus berani keluar dari zona kenyamanan. Kemiskinan struktural makin memelas. Penggusuran makin rajin menyambangi wong kabur kanginan (kaum miskin perkotaan). Kaum buruh makin gampang bergolak karena sistem kerja kontrak dan ancaman PHK. Bencana alam datang silih berganti makin menegaskan bahwa masyarakat Indonesia sungguh hidup di atas jalur petaka.
Nah, di jaman edan karena digiling mesin ketidakpastian turbulensi, ukuran kesuksesan tidak lagi diukur dari akumulasi kekayaan, status sosial, jabatan, dan kekuasaan. Parameternya, saat terjatuh di jurang kegagalan Anda justru bisa mengambil manfaat dari kemalangan. Seperti dikatakan filsuf Nietzche, “Segala sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku kuat”. Kaum profesional mesti berani menghadapi kepedihan yang disertai rasa malu. Pendeknya, memiliki daya pegas untuk tetap berkembang melampaui risiko sebagai konsekuensi pilihan hidup. Mengambil manfaat dari kemalangan menuntut pengakuan akan fakta tragis tapi indah: bahwa tidak semua masalah memiliki solusi dan tidak semua perbedaan bisa didamaikan. Dalam kata-kata William Shakespeare, “Mampu menanggung penderitaan yang bersemayam di jantung kreativitas”.
Buku ini diberi pengantar oleh Rhenald Kasali penulis buku sangat berpengaruh Change (2004) dan Re-Code (2007). Ya, menurut ahli manajemen perubahan dari Universitas Indonesia itu untuk menjadi raksasa makmur yang sejahtera orang harus mempertebal kadar deposit change DNA. DNA perubahan itu diakronimkan Rhenald Kasali menjadi OCEAN. Kaum profesional senantuasa harus memiliki keterbukaan terhadap pengalaman baru (Openness to Experience). Pikirannya tidak boleh mapan agar tidak terperangkap dalam penjara persoalan abadi. Kegemaran pemerintah mengatasi kompleksitas persoalan kekinian dengan cara berpikir kemarin dengan tambal sulam menteri kabinet nan tidak menyentuh substansi masalah, contohnya.
Memiliki keterbukaan hati dan telingan (Conscientiousness). Jangan seperti para pejabat yang malah kelihatan bego menghadapi penderitaan rakyat Sidoarjo yang terjerumus di lembah ketiadaan akibat semburan lumpur panas PT. Lapindo Brantas. Memiliki keterbukaan terhadap orang lain (Extroversion). Jangan seperti pejabat Indonesia yang justru menjadi sumber penderitaan rakyat karena pola kepeimpinan mereka berbasis layang-layang putus (problem based leadeship) bukan pengurai benang kusut (solution based leadership).
Memiliki keterbukaan terhadap kesepakatan (Agreeableness). Jangan seperti pagar makan tanaman mumpung berkuasa sebagai pejabat tinggi korporasi atau pemerintahan kemaruk korupsi dengan mengaduk-aduk isi perut bumi dan menggelontorkan limbah ke lautan. Mempunyai keterbukaan terhadap tekanan (Neuroticism). Jangan membudayakan falsafah kodok bangkak berenang, injak sana, sikut sini, menyalahkan orang lain tatkala seluruh kebobrokan terbongkar.
Buku ini enak dibaca dan perlu. Ditulis seorang expert yang memang berpengalaman di bidang penggelolaan SDM korporasi bisnis. Puih, langgam bertuturnya rek, mengalir lancar karena Herry Tjahyono menggunakan gagrak jurnalistik, bukan buku teks yang tandus dan kering. ****J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta.

Tidak ada komentar: