Minggu, 13 Januari 2008

Resensi Buku Onghokham di Suara Pembaruan, 29 Agustus 2003

Resensi Buku di Suara Pembaruan, 29 Agustus 2003
Belajar dari Kearifan Sejarah
Judul Buku:
Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang
Penulis:
Onghokham
Penerbit:
TEMPO, Freedom Institute, dan LSSI-Jakarta, Mei 2003
Tebal:
xv+380 halaman
Kain gordin di ruangan Residen Madiun JJ Donner biasa makan pagi hilang dicuri orang pada 6 Oktober 1899. Pencurian itu dianggap melecehkan martabat pejabat kolonial tertinggi di wilayah Madiun. Residen memanggil Brotodiningrat, Bupati Madiun, dan menyatakan pencurian itu bermotif politik, bahkan mengandung tendensi subversif.
Bupati dituduh berkomplot hendak menyusun persekutuan jahat dengan mengobarkan Perang Diponegoro jilid ke-2. Sebulan setelah penyelidikan, pencuri tertangkap namun tuan Residen tetap tidak percaya. Brotodiningrat lalu dibuang ke Padang, Sumatera Barat. Nah, yang menarik, dalam membela diri, Bupati Madiun menggunakan jasa pengacara, wartawan, serta mengirim nota protes ke Ratu dan parlemen di Den Haag Belanda.
JJ Donner sendiri dipensiunkan karena dianggap telah mencapai titik terendah nervous breakdown. Kendati sudah pensiun, Donner tetap gemar membuat pamflet tentang Brotodiningrat yang dituduhnya penggerak teror pembakaran ladang tebu dan tembakau sepanjang 1901-1905 di Besuki. Mental paranoid Donner mengingatkan orang pada aparat rezim Orde Baru Soeharto yang gemar membuat ontrang-ontrang (geger) bermotif agama atau etnis lalu dipadamkan sendiri untuk pengawetan kekuasaan.
The Brotodiningrat Affairs merupakan salah satu artikel menarik Onghokham dalam buku Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Buku kumpulan kolom Onghokham di majalah TEMPO 1976-2002 ini diterbitkan untuk memeriahkan ulang tahun ke-70 sang sejarawan, 1 Mei 2003. Suatu kebetulan yang manis, selama 26 tahun, tulisan Ong di TEMPO berjumlah 70.
Buku ini diluncurkan bersama buku lain bertajuk The Thugs, The Curtain Thief and The Sugar Lord: Power, Politics and Culture in Colonial Java.
Pemerintah Hindia Belanda ketika memulai Sistem Tanam Paksa pada 1830 menawarkan kepada para bupati di Jawa mengenai pergantian kepemilikan tanah (pelungguh) dengan subsidi keuangan yang diperbesar dari 300 hingga 500 gulden. Kendati dijanjikan jabatan turun-temurun para bupati dalam praktik bisa dipecat dan dibuang setiap saat. Sejak 1870 ketika perkebunan besar diambil alih swasta, pangreh praja (binenland bestuur) praktis kehilangan otoritas sebagai mandor perkebunan.
Hindia Belanda semakin ketat mendisiplinkan aparaturnya. Perkawinan bupati dengan istri kedua, ketiga, dan seterusnya tidak diusik, kecuali bila sang istri berasal dari kalangan bangsawan kraton. Di mata Belanda, putri kraton karena terbiasa hidup hedonis, membuat kobol-kobol anggaran belanja bupati.
Para bupati gemar mengambil istri kalangan bangsawan karena mendongkrak status mereka di depan rakyat sekaligus Belanda.
Tidak cukup hanya dengan mengontrol perilaku kawin-mawin, para pejabat binenland bestuur juga dituntut tidak fanatik beragama karena fanitisme dipandang bisa memotivasi perlawanan terhadap kolonialisme. Priyayi sekuler yang suka mendem ciu (minuman beralkohol) dan memelihara anjing lebih mudah naik pangkat ketimbang priyayi fanatik. Ketatnya kontrol Belanda atas pegawai pangreh praja itulah sebenarnya yang melatarbelakangi konflik antara Brotodiningrat dan Residen JJ Donner. Brotodiningrat korban kebijakan pengetatan ikat pinggang.
Kolonialisme Belanda bisa bergentayangan di Jawa diakibatkan lemahnya struktur ekonomi dan finansial penguasa pribumi. Kolonialisme beroperasi terutama bukan melalui operasi militer melainkan lewat perjanjian dengan penguasa tradisional. Jumlah aparat VOC dan tenta ra Hindia Belanda tidak banyak. Namun, struktur permodalan VOC dan Hindia Belanda lebih kuat.
Ketika Mataram jatuh dikudeta Trunojoyo pada 1678 pemadaman pemberontakan dan perebutan kembali keraton dibiayai VOC. Organisasi dagang - oleh bangsa Belanda dijuluki marked the start of the world-wide orientation of the Netherlands and a periode of great economic and cultural growth - cukong terbesar kerajaan-kerajaan Jawa. Nyaris seluruh konsesi dan wilayah kekuasaan VOC diperoleh lewat kontrak bukan operasi militer. Dengan demikian, kekuatan ekonomi yang digunakan VOC untuk mendominasi dan menghegemoni Jawa. Hanya Sultan Agung yang berani melawan VOC sampai ke Batavia.
Kendati VOC sukses melakukan monopoli dan mematikan pedagang pribumi, bukanlah perseroan yang sehat. Gaji pegawainya sangat rendah. Korupsi melanda di semua tingkat pegawai. Suap-menyuap dilakukan untuk mendapatkan jabatan sampai strategis di perseroan itu.
Pegawai VOC melakukan pungli untuk pengangkatan lurah hingga bupati. VOC dinyatakan pailit sejak 31 Desember 1799 karena birokratnya bermental bejat sulit diperbaiki. Seluruh aset dan utang-utangnya diambil alih Hindia Belanda.
Hindia Belanda bisa bertahan lebih dari seabad sebelum digulung fasisme Jepang karena administrasinya lebih bersih. Menurut Onghokham korupsi yang merajalela pada era VOC bisa diminimalkan pada masa Hindia Belanda (1804-1942). Hindia Belanda merupakan negara modern pertama di Asia yang didirikan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van den Bosch. Birokrasi, aset ekonomi, tata hukum, dan wilayahnya pada 17 Agustus 1945 diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengajaran sejarah yang menyebut bangsa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun jelas keblinger. Penjajahan Belanda efektif hanya berlangsung sepanjang 108 tahun. Masa penjajahan yang dilebih-lebihkan sejak saudagar rempah Charles de Houtman terdampar di Banten pada 1596 dalam pelayaran menuju Maluku justru membenarkan ungkapan bangsa Indonesia "berjiwa budak dan bermental kerdil".
Meskipun Hindia Belanda tidak korup bukan berarti kesejahteraan rakyat Bumi Putera diprioritaskan. Kasus perkebunan gula menjadi preseden buruknya. Perkebunan gula di Jawa oleh Hindia Belanda diibaratkan sebagai "gabus tempat pulau jawa mengapung di atas laut" (de kurk waarop Java dreef).
Ekspor gula dari Jawa merupakan seperempat dari total penghasilan Hindia Belanda. Perkebunan dan industri gula yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial, baik bagi Hindia Belanda maupun pengusaha swasta, sebenarnya merupakan beban berat bagi petani.
Gula menjadi sebab utama pemiskinan (ploretarisasi) petani sawah di Jawa. Pajak tanah dalam bentuk uang diganti dengan wajib kerja petani di perkebunan. Onghokham berseloroh, "Tidak ada pajak, tetapi keuangan negara justru membengkak lebih besar" (halaman 141-145).
Minat utama Onghokham memang sejarah petani, priyayi, dan kolonialisme abad ke-19. Priyayi dan petani (aktor dan korban) dalam sejarah kolonial. Dalam buku ini Ong juga membahas masalah premanisme (blater, weri, bromocorah), nasionalisme, politik militer, mitos kekuasaan, gelandangan, dan manipulasi sejarah.
Jasa Ong terbesar, menurut Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, menampilkan masa lampau bangsa Indonesia di media massa. Korupsi yang merajalela pada era VOC bisa diminimalkan pada masa Hindia Belanda karena ada kemauan politik yang kuat.
Korupsi yang berketiak ular justru di zaman reformasi membuktikan bahwa peme-rintahan Megawati memang bersimpuh dan diperbudak korupsi (tidak berkemauan buat memberantasnya).
Setali tiga uang dengan keresahan petani yang mewabah menjadi pemberontakan di Jawa abad ke-19, misalnya, gerakan separatisme di Aceh dan Papua berakar pada ketimpangan struktural. Tuntutan akan rasa keadilan dijawab dengan menggelar operasi militer (pemadaman pemberontakan).
Premanisme politik yang dikerjakan aparat resmi maupun partai politik dulu juga dilakukan penguasa kolonial untuk meneror para petani, agar mau bekerja di perkebunan. Onghokham melihat masa sekarang dengan bercermin pada masa lalu dan meneliti masa lampau untuk kebaikan masa depan. Tulisan Ong memperlihatkan proses-proses sejarah yang senantiasa berulang (histoire se repete).
J SUMARDIANTA
Last modified: 29/8/03

Tidak ada komentar: