Resensi Buku KOMPAS
Kontroversi Sejarah Sebagai Inspirasi Peradaban
Judul buku: Tuanku Rao
Penyusun: Mangaradja Onggang Parlindungan
Penerbit: LKiS, Yogyakarta, Juni 2007
Tebal: vii + 691 halaman
Perbedaan-perbedaan dalam sejarah sesungguhnya memberi pelajaran kepada umat manusia perihal toleransi dan kebebasan. Aforisma Francois Caron, guru besar sejarah Universitas Sorbone, Paris, Perancis ini kiranya sangat tepat buat merangkum seluruh kontroversi dan perdebatan buku Tuanku Rao. Buku yang disusun Mangaradja Onggang Parlindungan, semenjak dipublikasikan pertama kali 1964 oleh Penerbit Tandjung Harapan, memang memicu polemik seputar Gerakan Paderi di Sumatera Barat dan ekspansi pasukan Paderi di Sumatera Utara pada abad ke-19.
Kendati menggunakan metodologi penulisan sejarah Weberian Tuanku Rao goyah karena mencampuradukkan fakta sejarah, mitos, imajinasi, dan folklore (cerita rakyat). Satu-satunya sumber hanyalah memoar Tuanku nan Renceh yang disalin dari tulisan-tulisan berbahasa Arab ke Latin oleh Sutan Martua Raja---ayah Parlindungan. Sutan Martua Raja sendiri tak lain cicit dari Tuanku Lelo. Anakronisme sejarah terjadi karena Parlindungan miskin sumber pembanding dan kurus referensi.
Berbagai tarikh (angka tahun), buku Tuanku Rao, mudah longsor laksana bukit salju yang luruh disengat matahari, karena dibangun di atas argumentasi rapuh . Kontroversi menyengat karena Parlindungan sangat subyektif soal mazhab Hambali dan heroisme Batak. Ia tidak bisa mengambil jarak dengan problem (subjec matter) yang dikaji. Tak ayal, buku ini tergelincir ke isu primordial etnosentrisme. Kendati demikian, buku ini memberikan mentifact (fakta mental) berharga tentang dinamika sejarah lokal umat Islam di Sumatera Utara.
Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak. Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837), selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots. Begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.
Gerakan Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud, Raja Arab Saudi, kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau: Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik, dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekah dari tangan pasukan Turki 1802. Para pecundang tidak dihukum mati. Boleh lepas bebas. Kompensasinya: mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman. Agar Hindia Belanda terbebas dari penguasa penjajah kafir dari Eropa. Maklum, Hindia Belanda, dipandang sebagai mitra strategis kerajaan Arab Saudi.
Kemerdekaan tanah Arab, sebagaimana dialami Abdullah Ibn Saud, hanya bisa direbut dari Kesultanan Turki-Osmani dengan membentuk tentara modern. Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan kepada Kolonel Haji Piobang. Dia bekas perwira kavaleri Yanitsar Turki di bawah komando Muhammad Ali Pasya. Berkat Haji Piobang bala tentara Turki berjaya menumbangkan pasukan Napoleon dalam pertempuran Piramid di Mesir 1798. Muhammad Ali Pasya pun menghadiahi Haji Piobang pedang kebesaran. Senjata itulah kelak yang dihibahkan bagi Tuanku Lelo, pahlawan Paderi yang gagah perkasa, tak lain nenek moyang Onggang Parlindungan.
“Tingki Ni Pidari”
Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud adalah cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak. Dengan meriam pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak-abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba.
Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan pasukan Paderi memancung kepala Singamangaraja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja tahun 1819. Pongkinangolngolan adalah anak perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak Singamangaraja X.
Pongkinangolngolan, tutur Onggang Parlindungan, dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga. Bertahun-tahun berada di pengasingan di Angkola dan Sipirok. Na Ngol-ngolan, dalam bahasa Batak, artinya menunggu sesuatu yang tidak jelas dengan tidak sabar (waiting in vain). Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau karena khawatir suatu hari dikenali dan dijatuhi hukuman mati. Di Minangkabau ia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo. Pada waktu itu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik (tiga tokoh pembaruan abad ke-19) baru kembali dari Mekkah. Mereka, yang sedang mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mazhab Hambali ke Mandailing, mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh.
Tuanku Nan Renceh, mubaligh besar, karib Datuk Bandaharo Ganggo. Ia terkesima menghetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngolan. Pongki, rupanya sangat baik digunakan dalam rencana merebut dan menduduki Tanah Batak. Datuk Bandaharo diminta menyerahkan Pongkinangolngolan. Tuanku Nan Renceh memberi nama Pongkinangolngolan Umar bin Katab.
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso. Mereka dihabisi karena menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan Tuanku Lelo. Hulubalang bernama asli Idris Nasution itu, menurut Onggang Parlindungan, dijuluki Tuanku Lelo sebab memperoleh lisensi “kesimaharajalelaan” untuk melakukan kekejaman oleh Tuanku Nan Renceh.
Umar Katab (Pongkinangolngolan Sinambela) diangkat Tuanku Nan Renceh sebagai perwira tentara Paderi dengan gelar Tuanku Rao. Tuanku Nan Renceh, setali tiga uang Belanda, menjalankan politik divide et impera. Ia menggunakan orang Batak untuk menyerang dan menaklukkan tanah Batak. Ekspansi dimulai 1816 dengan menyerbu benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. 5.000 pasukan berkuda dan 6.000 pasukan infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi. Seluruh penduduknya dibantai tanpa sisa.
Gerakan Paderi bergelimang kebengisan (cruelties) dan berlumuran kekejaman (atrocities). Kekejaman sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebar pengalaman traumatis guna memudahkan penaklukkan. Satu persatu wilayah Mandailingpun ditaklukkan pasukan Paderi yang dipimpin para hulubalang Batak sendiri.
Gerakan ekspansif ke tanah Batak itu oleh Onggang Parlindungan disebut “Tingki Ni Pidari”---malapetaka besar jaman Paderi. Teror “Tingki Ni Pidari” adalah neraka paling jahanam dalam sejarah etnis Batak. Lembaran paling kelam dari sejarah Gerakan Paderi. Banyak memangsa korban jiwa tetapi tidak berhasil mencapai tujuan.
Kebajikan Masa Lampau
Pada 1974 Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrulah (HAMKA) menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Buku itu berisi sanggahan-sanggahan terhadap kisah Mangaradja Onggang Parlindungan. Menurut Buya HAMKA Tuanku Rao manis kulitnya, pahit isinya. Maklum buku itu mengagungkan etnis Batak seraya menganggap sepi etnis Minang. Menarik bahwa sebagai ulama besar Buya HAMKA pun saat menanggapi Parlindungan terjebak isu peka sentimen primordial-etnosentrisme. HAMKA tidak rela Tuanku Rao dan Tuanku Lelo menempati kedudukan lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol. HAMKA menuduh Parlindungan pembohong dan bodoh. Parlindungan menyebut HAMKA kampungan.
Kendati emosional perdebatan antara ulama dan tentara itu tidak menjurus kekerasan fisik dan mobilisasi massa. Di Padang pada 1969 mereka berdebat sengit dalam seminar tentang penyebarluasan Islam di seantero Sumatera Barat. Adu argumentasi dimungkinkan mengingat atmosfer intelektual saat itu sangat menyantuni kebebasan akademis. Apalagi mereka berdua dibesarkan di jaman Belanda. Muara pendidikan di jaman kolonial memang humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri). Kendati secara ideologis berseberangan HAMKA dan Parlindungan karib yang acap berangkat shalat Jum’at di masjid Al-Azhar secara bersama-sama.
Kontroversi sejarah justru merupakan bukti tingginya mutu peradaban. Inilah hikmah yang bisa ditimba dari polemik Parlindungan dengan HAMKA. Ditarik agak ke belakang, di jaman kolonial, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang pro peradaban Barat pernah berdebat dengan Sanusi Pane yang menjunjung tinggi budaya timur. STA ingin membersihkan anasir mitos dan tahayul (penghambat kemajuan) yang bergentayang di sesat pikir bangsa Indonesia. Sanusi Pane mengganggap STA kemlondo-londonen (kebarat-baratan) dan tidak menghargai indigeneus people (kerifan lokal). Di kemudian hari STA benar: bangsa Indonesia maju karena berkiblat ke Barat.
Pada 1952-1954 terjadi polemik kebudayaan yang bermutu antara Soedjatmoko dengan Buyung Shaleh. Soedjatmoko prihatin sastra mandul tidak mampu menghasilkan karya masyhur seperti Chairil Anwar karena sastrawan Indonesia cenderung pragmatis. Buyung Shaleh, tokoh Lekra, tidak sependapat. Menurut dia majalnya karya sastra karena terputusnya kehidupan sastrawan dengan rakyat.
Polemik kebudayaan dan perdebatan akademik padam sejak Orde Baru naik ke tampuk kekuasaan. Perdebatan intelektual miskin dan compang-camping. Pendidikan Orde Baru bubrah. Tidak menyediakan ruang seculipun buat merenung. Intelektual sangat pragmatis: terjun ke partai, terserap birokrasi, cari nafkah di LSM, mengasong proyek penelitian, dan menjadi konsultan kapitalis. Perdebatan HAMKA dengan Parlindungan yang sangat bermutu jadi barang langka. Polemik mereka terasa kasar di jaman sekarang akibat virus eufemisme yang disebarkan Orde Baru.
Almarhum Mangaradja Onggang Parlindungan, manta perwira Angkatan Darat, salah satu pendiri Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad) Bandung, adalah insinyur perkayuan lulusan Universitas Delft Belanda dan Zurich Swiss. Parlindungan intelektual jujur. Kendati parlindungan generasi ke-5 keturunan Tuanku Lelo, buku ini diniatkan untuk merehabilitasi nama baik Tuanku Rao yang citranya demikian remuk redam di kalangan masyarakat Batak.
Buku ini makin memperkaya data bahwa di sekujur Nusantara masyarakat Indonesia memang ditelikung spiral kekerasan. Persatean nasional gemar mengambil bentuk whole sale teror (teror ombyokan)---bencana politik 1965, konflik Ambon dan Poso, kegaduhan etnis di Sampit, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi Alas Tlogo. Melalui bukunya Onggang Parlindungan menkampanyekan lingkaran malaikat perdamaian.****
Kontroversi Sejarah Sebagai Inspirasi Peradaban
Judul buku: Tuanku Rao
Penyusun: Mangaradja Onggang Parlindungan
Penerbit: LKiS, Yogyakarta, Juni 2007
Tebal: vii + 691 halaman
Perbedaan-perbedaan dalam sejarah sesungguhnya memberi pelajaran kepada umat manusia perihal toleransi dan kebebasan. Aforisma Francois Caron, guru besar sejarah Universitas Sorbone, Paris, Perancis ini kiranya sangat tepat buat merangkum seluruh kontroversi dan perdebatan buku Tuanku Rao. Buku yang disusun Mangaradja Onggang Parlindungan, semenjak dipublikasikan pertama kali 1964 oleh Penerbit Tandjung Harapan, memang memicu polemik seputar Gerakan Paderi di Sumatera Barat dan ekspansi pasukan Paderi di Sumatera Utara pada abad ke-19.
Kendati menggunakan metodologi penulisan sejarah Weberian Tuanku Rao goyah karena mencampuradukkan fakta sejarah, mitos, imajinasi, dan folklore (cerita rakyat). Satu-satunya sumber hanyalah memoar Tuanku nan Renceh yang disalin dari tulisan-tulisan berbahasa Arab ke Latin oleh Sutan Martua Raja---ayah Parlindungan. Sutan Martua Raja sendiri tak lain cicit dari Tuanku Lelo. Anakronisme sejarah terjadi karena Parlindungan miskin sumber pembanding dan kurus referensi.
Berbagai tarikh (angka tahun), buku Tuanku Rao, mudah longsor laksana bukit salju yang luruh disengat matahari, karena dibangun di atas argumentasi rapuh . Kontroversi menyengat karena Parlindungan sangat subyektif soal mazhab Hambali dan heroisme Batak. Ia tidak bisa mengambil jarak dengan problem (subjec matter) yang dikaji. Tak ayal, buku ini tergelincir ke isu primordial etnosentrisme. Kendati demikian, buku ini memberikan mentifact (fakta mental) berharga tentang dinamika sejarah lokal umat Islam di Sumatera Utara.
Buku ini melihat Gerakan Paderi dengan sudut pandang etnis Batak. Berbeda dengan umumnya sejarah Paderi yang menggunakan sudut pandang etnis Minang. Gerakan Paderi (1803-1837), selaku cabang Gerakan Wahabi di Arab, merupakan gerakan radikalisme Hambali Zealots. Begitu keyakinan Mangaradja Onggang Parlindungan.
Gerakan Paderi dilatarbelakangi perintah langsung Abdullah Ibn Saud, Raja Arab Saudi, kepada tiga tawanan perang bersuku bangsa Minangkabau: Kolonel Haji Piobang, Mayor Haji Sumanik, dan Haji Miskin. Mereka bertiga dirangket saat pasukan Wahabi merebut Mekah dari tangan pasukan Turki 1802. Para pecundang tidak dihukum mati. Boleh lepas bebas. Kompensasinya: mereka harus membuka cabang Gerakan Wahabi sesampai di kampung halaman. Agar Hindia Belanda terbebas dari penguasa penjajah kafir dari Eropa. Maklum, Hindia Belanda, dipandang sebagai mitra strategis kerajaan Arab Saudi.
Kemerdekaan tanah Arab, sebagaimana dialami Abdullah Ibn Saud, hanya bisa direbut dari Kesultanan Turki-Osmani dengan membentuk tentara modern. Pembentukan pasukan Wahabi Minangkabau dipercayakan kepada Kolonel Haji Piobang. Dia bekas perwira kavaleri Yanitsar Turki di bawah komando Muhammad Ali Pasya. Berkat Haji Piobang bala tentara Turki berjaya menumbangkan pasukan Napoleon dalam pertempuran Piramid di Mesir 1798. Muhammad Ali Pasya pun menghadiahi Haji Piobang pedang kebesaran. Senjata itulah kelak yang dihibahkan bagi Tuanku Lelo, pahlawan Paderi yang gagah perkasa, tak lain nenek moyang Onggang Parlindungan.
“Tingki Ni Pidari”
Tentara Wahabi Minangkabau bentukan para tawanan Raja Abdullah Ibn Saud adalah cikal bakal pasukan Paderi. Kelak jadi army group Tuanku Rao yang melakukan ekspansi di tanah Batak. Dengan meriam pasukan Paderi mampu menembus dan mengobrak-abrik isolasi alam Tapanuli yang terlindung pegunungan Bukit Barisan dan lembah Danau Toba.
Di bawah pimpinan Pongkinangolngolan pasukan Paderi memancung kepala Singamangaraja X dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja tahun 1819. Pongkinangolngolan adalah anak perkawinan sumbang (incest) Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana Sinambela sendiri kakak Singamangaraja X.
Pongkinangolngolan, tutur Onggang Parlindungan, dibuang karena dianggap anak haram jadah dan sumber aib keluarga. Bertahun-tahun berada di pengasingan di Angkola dan Sipirok. Na Ngol-ngolan, dalam bahasa Batak, artinya menunggu sesuatu yang tidak jelas dengan tidak sabar (waiting in vain). Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau karena khawatir suatu hari dikenali dan dijatuhi hukuman mati. Di Minangkabau ia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo. Pada waktu itu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik (tiga tokoh pembaruan abad ke-19) baru kembali dari Mekkah. Mereka, yang sedang mempersiapkan tentara untuk ekspansi gerakan Mazhab Hambali ke Mandailing, mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh.
Tuanku Nan Renceh, mubaligh besar, karib Datuk Bandaharo Ganggo. Ia terkesima menghetahui nasib dan silsilah Pongkinangolngolan. Pongki, rupanya sangat baik digunakan dalam rencana merebut dan menduduki Tanah Batak. Datuk Bandaharo diminta menyerahkan Pongkinangolngolan. Tuanku Nan Renceh memberi nama Pongkinangolngolan Umar bin Katab.
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso. Mereka dihabisi karena menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan Tuanku Lelo. Hulubalang bernama asli Idris Nasution itu, menurut Onggang Parlindungan, dijuluki Tuanku Lelo sebab memperoleh lisensi “kesimaharajalelaan” untuk melakukan kekejaman oleh Tuanku Nan Renceh.
Umar Katab (Pongkinangolngolan Sinambela) diangkat Tuanku Nan Renceh sebagai perwira tentara Paderi dengan gelar Tuanku Rao. Tuanku Nan Renceh, setali tiga uang Belanda, menjalankan politik divide et impera. Ia menggunakan orang Batak untuk menyerang dan menaklukkan tanah Batak. Ekspansi dimulai 1816 dengan menyerbu benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. 5.000 pasukan berkuda dan 6.000 pasukan infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi. Seluruh penduduknya dibantai tanpa sisa.
Gerakan Paderi bergelimang kebengisan (cruelties) dan berlumuran kekejaman (atrocities). Kekejaman sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebar pengalaman traumatis guna memudahkan penaklukkan. Satu persatu wilayah Mandailingpun ditaklukkan pasukan Paderi yang dipimpin para hulubalang Batak sendiri.
Gerakan ekspansif ke tanah Batak itu oleh Onggang Parlindungan disebut “Tingki Ni Pidari”---malapetaka besar jaman Paderi. Teror “Tingki Ni Pidari” adalah neraka paling jahanam dalam sejarah etnis Batak. Lembaran paling kelam dari sejarah Gerakan Paderi. Banyak memangsa korban jiwa tetapi tidak berhasil mencapai tujuan.
Kebajikan Masa Lampau
Pada 1974 Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrulah (HAMKA) menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Buku itu berisi sanggahan-sanggahan terhadap kisah Mangaradja Onggang Parlindungan. Menurut Buya HAMKA Tuanku Rao manis kulitnya, pahit isinya. Maklum buku itu mengagungkan etnis Batak seraya menganggap sepi etnis Minang. Menarik bahwa sebagai ulama besar Buya HAMKA pun saat menanggapi Parlindungan terjebak isu peka sentimen primordial-etnosentrisme. HAMKA tidak rela Tuanku Rao dan Tuanku Lelo menempati kedudukan lebih istimewa ketimbang Tuanku Imam Bonjol. HAMKA menuduh Parlindungan pembohong dan bodoh. Parlindungan menyebut HAMKA kampungan.
Kendati emosional perdebatan antara ulama dan tentara itu tidak menjurus kekerasan fisik dan mobilisasi massa. Di Padang pada 1969 mereka berdebat sengit dalam seminar tentang penyebarluasan Islam di seantero Sumatera Barat. Adu argumentasi dimungkinkan mengingat atmosfer intelektual saat itu sangat menyantuni kebebasan akademis. Apalagi mereka berdua dibesarkan di jaman Belanda. Muara pendidikan di jaman kolonial memang humanitas expleta et eloquens (kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri). Kendati secara ideologis berseberangan HAMKA dan Parlindungan karib yang acap berangkat shalat Jum’at di masjid Al-Azhar secara bersama-sama.
Kontroversi sejarah justru merupakan bukti tingginya mutu peradaban. Inilah hikmah yang bisa ditimba dari polemik Parlindungan dengan HAMKA. Ditarik agak ke belakang, di jaman kolonial, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang pro peradaban Barat pernah berdebat dengan Sanusi Pane yang menjunjung tinggi budaya timur. STA ingin membersihkan anasir mitos dan tahayul (penghambat kemajuan) yang bergentayang di sesat pikir bangsa Indonesia. Sanusi Pane mengganggap STA kemlondo-londonen (kebarat-baratan) dan tidak menghargai indigeneus people (kerifan lokal). Di kemudian hari STA benar: bangsa Indonesia maju karena berkiblat ke Barat.
Pada 1952-1954 terjadi polemik kebudayaan yang bermutu antara Soedjatmoko dengan Buyung Shaleh. Soedjatmoko prihatin sastra mandul tidak mampu menghasilkan karya masyhur seperti Chairil Anwar karena sastrawan Indonesia cenderung pragmatis. Buyung Shaleh, tokoh Lekra, tidak sependapat. Menurut dia majalnya karya sastra karena terputusnya kehidupan sastrawan dengan rakyat.
Polemik kebudayaan dan perdebatan akademik padam sejak Orde Baru naik ke tampuk kekuasaan. Perdebatan intelektual miskin dan compang-camping. Pendidikan Orde Baru bubrah. Tidak menyediakan ruang seculipun buat merenung. Intelektual sangat pragmatis: terjun ke partai, terserap birokrasi, cari nafkah di LSM, mengasong proyek penelitian, dan menjadi konsultan kapitalis. Perdebatan HAMKA dengan Parlindungan yang sangat bermutu jadi barang langka. Polemik mereka terasa kasar di jaman sekarang akibat virus eufemisme yang disebarkan Orde Baru.
Almarhum Mangaradja Onggang Parlindungan, manta perwira Angkatan Darat, salah satu pendiri Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad) Bandung, adalah insinyur perkayuan lulusan Universitas Delft Belanda dan Zurich Swiss. Parlindungan intelektual jujur. Kendati parlindungan generasi ke-5 keturunan Tuanku Lelo, buku ini diniatkan untuk merehabilitasi nama baik Tuanku Rao yang citranya demikian remuk redam di kalangan masyarakat Batak.
Buku ini makin memperkaya data bahwa di sekujur Nusantara masyarakat Indonesia memang ditelikung spiral kekerasan. Persatean nasional gemar mengambil bentuk whole sale teror (teror ombyokan)---bencana politik 1965, konflik Ambon dan Poso, kegaduhan etnis di Sampit, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi Alas Tlogo. Melalui bukunya Onggang Parlindungan menkampanyekan lingkaran malaikat perdamaian.****
J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar