Resensi Buku di KOMPAS, Sabtu 20 September 2003
Gerilya melawan Pendangkalan Makna Hidup
ALMARHUM Prof Dr Masri Singarimbun, akrab dipanggil Pak Masri, semasa hidupnya (1930-1997) dikenal sebagai pakar antropologi sosial dan ahli studi kependudukan. Pak Masri, bersama David H Penny ekonom dari Australia, adalah ilmuwan pertama yang mengangkat kemiskinan sebagai masalah sosial khususnya di pedesaan Jawa dalam buku Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo (1977).PAK Masri pernah dicap sebagai ilmuwan pesimis gara-gara penelitiannya yang tergolong sensitif saat itu. Ia dituduh menutup mata terhadap hasil-hasil pembangunan. Begitu ada pemberitaan bencana kelaparan di Indramayu, masyarakat di lumbung padi pantura sampai merebus eceng gondok, pelan-pelan orang mulai percaya dengan temuannya. Pendiri sekaligus direktur pertama Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (1973-1983) ini memiliki empati (bela rasa) sangat kuat terhadap kolega yang sedang tertimpa kesulitan maupun masyarakat miskin yang dikajinya.Publikasi yang ditulis dan dieditnya sepanjang tahun 1959 hingga 1997 berjumlah 101. Pak Masri juga menulis sekitar 120-an artikel di berbagai media massa, termasuk di majalah Prisma. Tahun 1992 Balai Pustaka menerbitkan Renungan dari Yogyakarta. Buku ini merupakan antologi tulisan Pak Masri yang pernah dimuat di Tempo, Editor, Kompas, dan Jawa Pos sepanjang 1977 hingga 1992. Reflections from Yogya: Portraits of Indonesian Social Life adalah edisi Inggris Renungan dari Yogyakarta yang dipublikasikan Galang Press. Sejarawan Onghokham berhasil menampilkan kearifan maupun kebejatan masa lalu bangsa Indonesia di media massa. Pak Masri sukses mengurai benang kusut masalah-masalah sosial di surat kabar untuk konsumsi pembaca awam.Pak Masri mengajak khalayak pembaca merenungkan masalah-masalah seperti birokrasi yang tidak kunjung efisien dan mau melayani, ledakan populasi penduduk, kemiskinan, HIV/AIDS, terorisme seksual, agresi tak terkendali, korupsi, buruknya perpustakaan perguruan tinggi, rendahnya motivasi berprestasi, dan runtuhnya pilar-pilar moralitas. Patologi sosial yang hingga sekarang masih menelikung kehidupan masyarakat Indonesia.KOLOM merupakan tulisan yang sangat menonjolkan strong personal views. Ciri utama kolom Pak Masri, sebagaimana dituturkan Prof Terence H Huul dari Australian National University, bahasanya populer, langsung menukik ke pokok soal, berlumuran humor di sekujur karangan, reflektif, dan tak lekang zaman. Almarhum Satyagraha Hurip, sastrawan, pernah menganjurkan Pak Masri menulis cerpen mengingat gagrak (genre) story telling tulisannya. Pak Masri, seperti halnya Pater MAW Brouwer, memang seorang penutur cerita kelas wahid. "Kami, anak-anak, waktu itu melihat tikus sebagai kawan dan makhluk yang menggairahkan. Tikus besar mendatangkan selera makan, lebih enak dari yang berukuran sedang. Tikus ladang lebih lezat dibandingkan tikus yang berkeliaran di rumah. Seperti halnya kodok, tikus juga dibakar. Tikus panggang yang gurih ini boleh dimakan dengan sambal, dan boleh juga digulai. Tidak mustahil salah satu pemecahan hama tikus justru dengan jalan damai. Mencintai dagingnya lalu memopulerkan lauk tikus: tikus bakar, sate tikus, soto tikus, dan sop tikus. Soalnya, daging tikus lebih enak dari daging ayam atau kelinci. Kadar proteinnya pun lebih tinggi." Ini contoh gaya bertutur menggelitik penuh guyonan yang ditulis Pak Masri dalam kolom berjudul Mice and Men. Sebagai bahan perbandingan keripik dan sate bekicot (kodenya 02) sudah menjadi menu makanan favorit masyarakat Kediri dan Blitar, Jawa Timur, yang dihidangkan di warung maupun restoran.Pertanyaan reflektif senantiasa menyertai tulisan Pak Masri. Jika anjing dan serigala mau mengekang diri, berhenti mencabik-cabik musuhnya yang sudah menyerah tak berdaya, mengapa manusia tega membunuh orang yang sudah tidak berkutik? "Where is the Limit to Aggression?" adalah tulisan pertama Pak Masri di Tempo tahun 1977 yang tetap relevan buat merefleksikan perilaku sebagian masyarakat kita yang ringan senjata di Aceh, Maluku, Poso, dan Sampit.Zaman edan, tulis Pak Masri mengutip Ranggawarsita, nek ora edan ora komanan (kalau tidak larut dalam kegilaan tidak kebagian), dalam tulisan berjudul Living Together (Kumpul Kebo). Generasi muda jika terpaksa harus berkawan dengan "setan" lebih baik memilih "setan mini" (alat kontrasepsi) ketimbang "setan maksi" (hamil di luar nikah, aborsi, dan anak haram jadah)? Ini solusi yang ditawarkan Pak Masri dua dekade lalu untuk mengurai benang kusut kehidupan generasi muda yang makin lama perilakunya serba bebas dan serba boleh (permisif). Istilah Pak Masri tiada hari tanpa rangsangan seksual alias tak putus dirundung renjana berahi. Gayung bersambut. Kini anjuran Pak Masri seperti menemukan kebenarannya. Global TV, stasiun TV swasta relay MTV Asia, dengan segmen khalayak pemirsa kaum muda gencar menayangkan iklan kondom dengan aroma buah-buahan Fiesta.Kebijakan konyol normalisasi kehidupan kampus di zaman Orde Baru diparodikan Pak Masri menjadi tulisan Normalizing the Campus Library (Normalisasi Perpustakaan Kampus) saat mengkritik buruknya pelayanan dan minimnya koleksi perpustakaan yang merajalela di perguruan tinggi Indonesia dan Normalizing the Neck (Normalisasi Leher) untuk mengingatkan bahwa wabah kekurangan yodium juga melanda keluarga para dosen yang tinggal di lingkungan kampus."Beginilah riwayat manusia. Dalam situasi terbelakang masyarakat dibebani ketergantungan anak berjumlah besar. Dalam keadaan maju digayuti orang-orang lanjut usia. Namun, masalah keterbelakangan niscaya lebih runyam ketimbang masalah akibat kemajuan. Dengan kata lain, masalah ekonomi akibat struktur umur tua tidak seberapa dibandingkan masalah kemiskinan pada masyarakat terbelakang dengan tingkat kelahiran tinggi," ini renungan filosofis Pak Masri perihal kisah sukses bangsa Jepang menekan laju pertumbuhan penduduk dalam Via the Old Route (Lewat Jalan Kuno). Ingin tahu sebabnya? Jepang yang begitu jauh di depan memimpin modernisasi, kemajuan teknologi, dan kemakmuran, primitif dalam pemilihan kontrasepsi. Tingkat kelahiran yang rendah dicapai melalui cara kampungan: kondom, sanggama terputus, dan pantang berkala. Wanita Jepang gemetar melihat pil anti-hamil dan IUD. Bandingkan dengan perempuan di pelosok-pelosok desa Jawa yang buta huruf, fatalistik, berorientasi jangka pendek, pemakan gaplek, kurang need for achievement ternyata konsumen pil KB dan pemakai spiral. Rupanya, semakin tinggi pendidikan kaum urban semakin udik metode KB mereka.DALAM pandangan Prof Dr Benjamin Nicholas Forbes White, pakar studi pedesaan dari Universitas Amsterdam, Belanda, walaupun buku ini berjudul Reflections from Yogya, it is not a book about Yogyakarta. Hanya sedikit, dari keseluruhan 81 artikel, yang menyinggung hal-hal yang terjadi di sekitar Yogya, bahkan banyak yang tidak menyinggung Indonesia secara langsung, tetapi menceritakan pengalaman Pak Masri di Bangkok, Canberra, Manila, New York, Mesir, Roma, dan India.Buku klasik ini tetap relevan karena berhasil membuktikan manusia Indonesia, terutama elite politiknya, merupakan manusia hipokrit miskin refleksi. Mentalitas munafik enggan berefleksi inilah penyebab bangsa Indonesia cenderung dan gemar menakik peradaban usang yang menjerumuskan pada pendangkalan makna di pelbagai lini strategis kehidupan. Reflections from Yogya, ditujukan untuk pembaca asing pemula yang hendak mengenal dari dekat kehidupan masyarakat Indonesia dalam bahasa populer dan ringan, enak dicerna mengingat gaya bertuturnya yang khas, menggerakkan pikiran, memiliki daya sentuh, dan gaya gugah. Pendeknya buku yang memiliki gizi rohani tinggi. Nah, yang paling esensial, buku optimis ini mengajak khalayak pembacanya masuk ke relung hatinya yang terdalam supaya tabah menghadapi pergulatan, tegar mengatasi kesulitan dan tantangan, serta berani memeluk risiko.Kendati demikian, seumumnya bunga rampai buku ini mengidap penyakit bawaan. Berbagai tulisan yang pernah dimuat di media massa, satu hingga tiga dekade lalu, datanya banyak yang sudah usang. Gagasan Pak Masri, kalau di cermati dengan teliti, ternyata juga mengandung inkonsistensi. Pak Masri, sebagai generasi pertama antropolog Indonesia, adalah ilmuwan yang sangat humanis tatkala membicarakan masalah kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, disparitas jender yang menimpa pemulung, pengamen jalanan, TKW, dan buruh bangunan perempuan. Tetapi sebagai pakar studi demografi ia tampil sebagai "pembunuh berdarah dingin" pro-prostitusi dan pengguguran kandungan. Inilah dilema (ketegangan) seorang tokoh etis yang bertekun di wilayah pragmatis.
J Sumardianta, Guru Sosiologi SMU Kolese de Britto, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar