Resensi Buku KOMPAS, Jumat, 2 November 2001
Menepis Prasangka Buruk Homophobi
Hidup sebagai kaum homoseksual tidaklah mudah. Pun di negara maju. Mereka masih tetap dianggap sebagai wabah, terus dikejar-kejar dan dimusuhi. Padahal banyak di antara kaum homoseks merupakan figur cemerlang. Tetapi, sampai kini belum ada riset tentang ada tidaknya kaitan antara kecemerlangan otak dengan orientasi seksual yang terarah pada sesama jenis kelamin.Dari bacaan-bacaan yang ada, dapatlah kita sebut nama-nama besar yang termasuk dalam barisan kaum sehati (sebutan untuk kaum homo) antara lain Raja Iskandar Zulkarnaen dan Julius Caesar, filsuf Yunani klasik Plato dan Aristoteles, Boden Powell (bapak kepanduan internasional), Michelangelo dan Leonardo da Vinci (pelukis), John Maynard Keynes (ekonomi neo-klasik), Michael Foucalt (posmodermis), Elton John (penyanyi), Glanni Versace (perancang mode). Sedangkan sastrawan internasional yang tergolong hombreng antara lain Oscar Wilde, Virginia Wolf, Walt Wiltman, dan Nokolia Gogol.Herlinatiens (penulis)Konstruksi sosial yang menempatkan kaum homo sebagai epidemi telah lama mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Tak heran bila kebesaran prestasi dan sumbangan mereka bagi kemajuan peradaban tak kunjung mengubah stigma buruk (imagologi) yang sudah dilekatkan pada kaum homoseksual di seluruh jagad. Konstribusi mereka acap dikesampingkan karena homofibia (kekhawatiran berlebihan terhadap kaum gay dan lesbian) terlanjur berurat-berakar.***Buku Memberi Suara pada yang Bisu yang ditulis Dede Oetomo, tokoh gay nasional dengan sebut internasional ini, mengelaborasi keprihatinan umum kaum homoseksual. Keprihatinan yang berujung pada pandangan keliru masyarakat.Memang, persoalan kaum sehati merupakan persoalan golongan kecil dalam masyarakat. Itu sebabnya, mengingat jumlah merka yang semakin besar dan sub-kultur, mereka makin terbuka. Dalam kaitan itu, Dede Oetomo mengkampanyekan paradigma, sikap, dan perilaku empati terhadap kaum sehati.Kampanye tersebut, kiranya, bukan buat apologi (membela diri) maupun memperkeras sikap penuh prasangka. Tetapi, buat mendudukkan soal secara proposional; setidaknya untuk zaman sekarang, zaman yang sudah berkembang, mengglobal, mendunia (mondial).Buku ini dibagi menjadi enam bagian. Dede Oetomo, dosen FISIP-Universitas Airlangga Surabaya dan guru besar di Universitas Kebangsaan Malaysia ini, mengawali uraiannya dengan kisah menggugah tentang dirinya yang sejak kecil punya kesadaran bahwa naluri erotiknya terarah pada lelaki.Di situ dilukiskan penderitaan dan kegalauan yang menimpanya karena masyarakat kelas menengah yang membesarkannya sangat berprasangka buruk terhadap homoseksualitas. Ini akibat pengaruh romantisme budaya kaum borjuis Barat yang merembes ke Indonesia lewat ideologipembangunanisme. Kebudayaan Barat borjuis mengidentikkan perkawinan yang terbaik dan ideal itu dengan keluarga inti (nuclear family), yakni suami-isteri (laki dan permpuan) dengan beberapa anak (kandung).dede juga mengungkapakan pula keputusannya untuk membuka kenyataan dirinya sebagai gay, sat mengambil gelar doktor di Universitas Cornell, Amerika Serikat; dan membuang kehidupan penuh kepura-puraan yang dilakoninya sebelum keputusan berani itu diambil.Saat itu, dekade tahun 1980-an, gerakan emansipasi kaum gay sedang merebak di kampus-kampus Amerika. dede terinspirasi gerakan itu. Ia seakan menemukan jalan keluar dari kemelut batin yang menimpanya di Indonesia semasa rezim Orde Baru.Dia orang orang Indonesia pertama yang punya keneranian menyatakan dirinya gay. Dede, sepulang dari belajar di Negeri Paman Sam, mendapat tamparan keras; ditolak menjadi dosen di dua perguruan tinggi terkenal di Surabaya.Akan tetapi, berkat rekomendasi seorang profesor bijaksana, dia kemudian diterima sebagai dosen di FISIP Unair. Kedua orangtuanya berbesar jiwa dan menerima anaknya sebagaimana adanya dalam segala situasi untung maupun malang.Bagian pertama buku ini membicarakan erotisme homoseksual yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan Nusantara. Homoseksual ditemukan Dede nyaris di semua suku bangsa; Aceh, Bugis, Bali, Dayak, Jawa, Madura, Minangkabau, Papua, dan Toraja. Di Sulawesi Selatan, sampai akhir penjajahan Belanda, terdapat bissu (kaum homo) dengan tugas khusus menjaga arajang (pusaka) kerajaan dan mengatur upacara sakral. Para bissu, seiring amblesnya sistem monarki di zaman republik, kehilangan sebagian besar fungsi religio magis.***Di Ponorogo, jawa Timur, sampai awal abad ke-20, mudah ditemukan gemblak (lelaki muda piaraan warok). Di Yogyakarta bahkan ada juga kampung bernama Gemblakan, asal katanya juga dari kata gemblak itu. Ada keyakinan, kesaktian lelaki akan disedot perempuan, maka para warok lalu tidak beristri, dan untuk menyalurkan gairah lalu memelihara gemblak. Tradisi gemblakan ini juga bisa ditemukan dalam Serat Centhini.Di Solo, tulis Benedict Richard O'Gorman Anderson di bagian pengantar buku ini, ada seorang lelaki berstatus sosial tinggi yang beristri dan beranak, namun gemar memelihara momongan lelaki muda. Perilaku sugar dady (gay sepuh yang pemurah) ini ditolerir sang istri.Bagi sang istri, suaminya lebih baik punya banyak momongan lelaki ketimbang jadi badut tua yang hobinya memelihara gundik. Momongan suaminya itu tak mungkin hamil, tak bakalan punya anak. Jadi, matematis belaka, kalau tak ada anak dari "istri" lainnya, maka warisan suami akan diturunkan buat anak-anak istri satu-satunya.Bagian kedua mempersoalkan pandangan yang sekarang masih luas dianut sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa homoseksual merupakan penyimpangan psikologis maupun norma sosial. Pandangan ini jelas berasal dari Baratyang muncul bersamaan dengan perkembangan peradaban borjuis abad ke-19, di mana psikologi punya pengaruh luas termasuk di kalangan kelas menengahdi Indonesia.Menurut Dede, para psikolog akhirnya meralat pendapat keblingeran ini. Sehingga, paling tidak di Barat, sekarang homoseksualitas tidak lagi dikategorikan kelainan jiwa oleh psikiater maupun psikolog.Fokus bagian ketiga adalah situasi kaum homoseks di zaman Orde Baru dengan segala kemunafikannya. Di zaman Soekarno, homoseksualitas relatif punya kebebasan, seks dipandang sebagai urusan pribadi warga negara. Negara tak perlu turut campur secara eksesif.Di zaman Orde Baru, Soeharto menyeragamkan kehidupan seksual warga negara: KB dipaksakan, Undang-Undang Perkawinan diberlakukan, dan norma keluarga kecil bahagia sejahtera dikampanyekan.Dede mencita-citakan pergerakannya bagi kemungkinan kaum gay maupun lesbian de jure bisa kawin-mawin. Cita-cita ini sepenari dan sependendangan dengan konsep keluarga idaman ala borjuis barat yang hendak didekonstruksinya. Bukankah ini contradictio in terminis?Pada bagian keempat, Dede membicarakan malapetaka HIV-AIDS. Dede mengungkapkan bahwa di Amerika, HIV-AIDS mula-mula muncul di kalangan pria homoseks. Di kalangan Kristen Ortodoks penyakit ini dianggap sebagai laknat Tuhan atas orang-orang hombreng dengan moral bejat dan perilaku semburit sulit diperbaiki.Terbukti kemudian, menurut buku ini, penyakit tersebut juga merajalela di kalangan heteroseksual.Jadi, penyakit ini merajalela bukan karena perilaku semburit di kalangan kaum homo melulu. Pun perilaku seks gonta-ganti pasangan di kalangan heteroseks dan pemakaian jarum suntik serampangan di kalangan pemadat narkoba.Dalam rangka mencegah penyebarluasan HIV-AIDS, Dede dan para koleganya di yayasan GAYa Nusantara menjelaskan dengan gamblang, sopan, dan konkret praktik-praktik seks tidak aman berikut cara-cara menghindarinya.Bagian kelima berisi nasihat-nasihat untuk gay dan lesbi di Indonesia yang nasibnya tak putus dirundung kesulitan. Di Indonesia, tempat ikatan keluarga, khususnya hubungan anak-orangtua masih kuat, dan perkawinan merupakan keharusan alamiah, antipati terhadap kaum homo tak jarang justru menghancurkan kehidupan anak muda gay. Kaum homoseks juga menderita karena diskriminasi umum dan ancaman kelompok politik keagamaan yang sangat membenci mereka.Peluluhlantahanperhelatan kaum hombreng Kerlap-Kerlip Lampu Kedaton yang terjadi dekat Kaliurang, Sleman, dan pembubaran konggres kaum homo di Solo beberapa tahun lalu, merupakan presenden yang dipandang amat memprihatinkan oleh kaum gay. Bagian akhir berisi laporan-laporan pertemuan gay dan lesbi di Indonesia maupun internasional yang dihadiri Dede, dengan harapan kaum homo makin bermartabat. ***Karya Dede ini merupakan referensi berbahasa Indonesia pertama yang komprehensif mendiskusikan homoseksualitas. Sayang, buku ini tak memberi penjelasan mengapa beberapa rubrik majalah GAYa Nusantara isinya banyak soal-soal berbau erotisme, dan hedonisme kaum homoseks.Akan tetapi, dengan membaca buku tersebut, tanpa pretensi macam-macam, akan tahulah dunia kaum homo; kesulitan dan alam psikologinya. Dengan begitu, kita bisa memahami sikap dan perbuatan mereka. Sehingga menyetujui atau menentang perilaku mereka pun sudah berdasar pengetahuan yang memadai: bukan asal setuju atau menolak. Kita harus mulai membiasakan diri bersikap a posteriori bukan a priori.
(J Sumardianta, guru SMU Kolese de Brito Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar