Mewujudkan Spirit Corporate Mystic
Oleh: J. Sumardianta*
Suatu malam, seorang pria sepuh menggandeng istrinya, memasuki lobi hotel kelas melati, di Philadelphia, Amerika. "Semua hotel besar di kota ini telah terisi penuh. Bisakah Anda menyediakan satu kamar saja buat kami?" ujar pria itu menjeritkan harap.
"Kamar kami telah dipesan jauh hari. Ada tiga perhelatan besar digelar bersamaan di kota ini. Tapi saya tidak tega membiarkan pasangan sebaik Anda tampias kehujanan di jalanan pada dini hari. Maukah Anda berdua menginap di apartemen saya?" jawab resepsionis. Orang tua itu mengangguk.
Keesokan harinya, saat pamitan, bapak tua berterima kasih pada penolongnya. "Anda seharusnya menjadi pemimpin hotel terbaik di Amerika. Anda bekerja dengan keinginan kuat untuk mengabdi. Kelak saya mungkin bisa membangun hotel untuk Anda."
Pegawai hotel murah yang hati itu tersenyum. Melupakan kata-kata si pria tua. Dan, kembali pada rutinitas melayani para tamu lain.
Dua tahun kemudian datang sepucuk surat undangan disertai tiket terbang ke New York. Di metropolis terbesar di dunia itu, pak tua, mengajak tamunya ke sudut jalan antara Fifth Evenue Thirty-Fourth Street. Dia menunjukkan bangunan baru luar biasa megah. "Itu hotel yang saya janjikan dua tahun lalu. Mulailah Anda kelola sekarang." George Charles Bold, si karyawan hotel melati, menerima tawaran Mr William Waldorf Astor.
Kisah Tuan Astor menemukan karyawan berjiwa melayani inspirasi mencerahkan perihal corporate mystic. George Charles Bold tipikal pekerja yang bisa berdamai dengan diri sendiri (sabar, syukur, bersahaja), berdamai dengan sesama (memberi, mengasihi, memaafkan), dan berdamai dengan Tuhan (berserah).
George Charles Bold menemukan Tuhan bukan saat berdoa dan beribadah. Tuhan tidak diluhurkan dengan laku asketik keras ala para pengembara sufi melainkan di perusahaan tempatnya bekerja.
Semangat merupakan masalah paling penting di tempat kerja bukan soal strategi dan taktik. Rendahnya semangat dan produktivitas kerja itu masalah paradigma bukan masalah perilaku. Paradigma itu sebab, perilaku akibat.
Arvan Pradiansyah, dalam I Love Monday (2012), menyebutkan tiga paradigma dalam bekerja dan berbisnis. Paradigma pertama berorientasi job. Sutradaranya pimpinan atau owner. Karyawan tersiksa karena menjalankan skenario, mimpi, kemauan, dan masa depan orang lain. Motivasi penggeraknya jangka pendek: apa yang akan saya peroleh? Paradigma ini dianut sebagian besar kaum profesional maupun pekerja terampil.
Tujuan bekerja semata demi menafkahi keluarga dan bertahan hidup. Konsekuensinya orang harus bekerja keras dan mengabaikan kesehatan. Mereka membayar pendapatan yang tidak seberapa dengan pengorbanan waktu dan perasaan yang menyiksa lahir batin. Tabungan tidak pernah mencukupi. Penghasilan selalu kalah bersaing melawan beaya hidup dan inflasi.
Mereka seperti robot karena mengacu model get the job done (GJD) – sekadar menjalani rutinitas kerja monoton. Populasi kelompok GJD, berdasarkan laporan American Society for Training and Development (ASTD), sebesar 54 persen.
Di kantor, penganut GJD hanya senang pada saat gajian. Selebihnya, cenderung menghindari masalah ketimbang menyelesaikannya. Bekerja sudah tentu tidak menggembirakan. Senyum mereka saat menyambut pelanggan hanyalah senyum SOP (standard operating procedure). Cara mereka menangani keluhan pelanggan menunjukkan tidak adanya rasa tanggung jawab.
Penganut GJD berfokus pada diri sendiri. Langgam mereka pesimistic explanatory style. Sekadar meluangkan waktu bukan mencurahkan energi, perhatian, dan passion. Fisik di kantor tapi pikiran bergentayangan di mana-mana. GJD membuat perasaan pekerja tidak nyaman. Mereka terpaksa bertahan dalam pekerjaan membosankan yang merendahkan harga diri dan tidak sesuai dengan minat serta keahlian.
Sebesar 17 persen populasi GJD, menurut laporan ASTD, amat membenci pekerjaan. Mereka suka menyebarkan virus prasangka dan keresahan. Suasana kerja jadi mirip neraka. Mereka menderita karena gagal memaknai dan menemukan indahnya pekerjaan.
Paradigma kedua berorientasi pada karier. Skenario disusun para pemburu karier itu sendiri. Motivasi penggerak: bagaimana cara memperolehnya? Pekerjaan adalah sarana bertumbuh. Karier membuat orang sukses memperoleh uang, pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman. Tujuan bekerja penganut paradigma kedua ini memang kesuksesan.
Paradigma pertama dan kedua, secra keseluruhan populasinya 71 persen, tujuannya memperoleh (getting). Paradigma ketiga mencakup 29 persen populasi, fokusnya memberi (giving). Paradigma ketiga memperlakukan pekerjaan sebagai panggilan (vocation). Bekerja merupakan sarana melayani orang lain buat mencapai tingkat kemanusiaan tertinggi. Skenarionya, finding God in all things. Meluhurkan Tuhan di tempat kerja.
Paradigma ketiga disebut confirm satisfaction (CS). Mindset telah bergeser dari berfokus pada diri sendiri (bekerja demi gaji dan karier) menjadi lebih altruistik – mengabdi Tuhan dengan melayani sesama. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Pamrih mereka sedikit. Lebih banyak berkarya nyata.
Pekerjaan yang sama selalu dilakukan karyawan dengan cara berbeda. Ukuran keberhasilan bukan apa yang sudah dikerjakan melainkan apakah pelanggan sudah puas terlayani. Motivasi yang menggerakkan penganut CS: mengapa saya mesti mengerjakannya?
Manfaat terbesar yang diberikan pekerjaan adalah harga diri. Orang menjadi penting karena mementingkan orang lain. Makna pekerjaan ditemukan karena karyawan mampu melihat dengan sudut pandang orang lain. Orang yang memberi banyak melebihi yang dia terima (give more expectless). Bukan sekadar transaksional give more expect more. Mereka bukan manusia tidak tahu diri yang motivasinya giveless expect more.
Paradigma CS amat visioner. Karyawan memiliki spirit, perasaan positif, relasi bagus, dan terhubung dengan yang dikerjakan. Langgam mereka optimistic explanatory style. Badan dan pikiran menyatu di tempat kerja. Pekerjaan baru selesai ketika hasilnya sudah dinikmati pelanggan.
Semakin tinggi kesulitan yang bisa diatasi, semakin banyak keahlian yang diperoleh, semakin tinggi nilai jual, dan semakin solid identitasnya seseorang sebagai profesional. Hasilnya uang, kesuksesan, kebahagian, kepuasan batin, perasaan bermakna, kompetensi dan intelektual, jaringan relasi sekaligus.
Inilah hukum besi yang tidak bisa dihindari. Mementingkan orang lain merupakan rahasia bisnis mendasar sepanjang masa. Semua jenis pekerjaan esensinya pelayanan, substansinya pengabdian. Mereka yang mengingkari hukum alamiah itulah yang setiap hari Senin dilanda kecemasan dan depresi. Mereka sorai pada hari Jumat, menjelang libur akhir pekan. Mereka inilah yang senantiasa membuat macet jalan di daerah Puncak. Mereka, saat long weekend tiba, seperti kesetanan, lintang pukang meninggalkan Jakarta.
Kebahagiaan itu kepenuhan makna. Kesengsaraan itu krisis makna. Bahagia atau sengsara itu lebih ditentukan kemauan dan kemampuan memaknai pekerjaan. Perubahan paradigma dalam memandang pekerjaan bisa mengubah beban jadi sumber kebahagiaan.
Harus diakui, bekerja untuk melayani masih terdengar aneh bagi sebagian besar profesional. Ada yang menganggap munafik. Bahkan ada yang menuduh kamuflase supaya pekerjaan lebih kelihatan elegan.
Problem terbesar perusahaan despiritisasi kelembagaan. Bisnis pada dasarnya rawa tempat buaya besar melakukan segala penipuan dan eksploitasi demi mengenyangkan perut pemiliknya sendiri.
Spirit corporate mystic, baru bisa diwujudkan bila budaya korporasi serakah yang mendewakan keuntungan jangka pendek diubah. Kegigihan memupuk laba mesti bersinergi dengan hasrat untuk hidup bermakna. Kejayaan material diimbangi kedewasan spiritual. Dedikasi menaklukkan egoisme. Kepedulian menggantikan sikap masa bodoh.
*J. Sumardianta, guru SMA Kolese de Britto Yogyakarta. Penulis Simply Amazing (2009) & Editor Tapal Batas: A Journey to Powerful Breakthrough (2011).